Selasa 27 Sep 2022 08:26 WIB

Polri Diminta Proaktif Ungkap Pelaku Peretasan Awak Media Narasi

Dua laporan peretasan situs belum ada tindak lanjutnya dari kepolisian.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agus raharjo
Arab Saudi Buka Suara Soal Isu Peretasan Ponsel Bos Amazon (Foto: Ilustrasi peretasan)
Foto: Piqsels
Arab Saudi Buka Suara Soal Isu Peretasan Ponsel Bos Amazon (Foto: Ilustrasi peretasan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah organisasi mengecam serangan digital terhadap sedikitnya 24 awak redaksi Narasi sejak Sabtu (24/9/2022). Serangan ini diklaim merupakan kasus peretasan terbesar yang dialami awak media di Indonesia setidaknya dalam empat tahun terakhir.

Kecaman ini disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan beberapa organisasi seperti, LBH Pers, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dan Tim Reaksi Cepat (TRACE). Empat organisasi tersebut mendesak agar Polri secara aktif menyelidiki pelaku di balik serangan digital tersebut karena menghambat kebebasan pers yang dijamin kemerdekaannya oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Baca Juga

“Kepolisian harus melakukan penyelidikan dan penyidikan secara tuntas kasus peretasan terhadap sekitar 24 awak redaksi Narasi. Pembiaran atas serangan kepada jurnalis dan perusahaan, akan semakin menguatkan pemerintah memiliki keterkaitan dengan serangan ini," kata Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim, Senin (26/9/2022).

Peretasan dan percobaan peretasan terhadap awak media Narasi mencakup beragam platform seperti akun Facebook, Instagram, Telegram, dan Whatsapp. Awak redaksi yang menjadi target berasal dari berbagai level, dari pemimpin redaksi, manajer, finance, produser, hingga reporter.

Peretasan pertama kali terjadi pada nomor Whatsapp milik Akbar Wijaya atau Jay Akbar, salah seorang produser Narasi yang menerima sejumlah tautan tak dikenal melalui Whatsapp sekitar pukul 15.29 WIB.

Meski Jay tidak mengeklik satu pun tautan dalam pesan singkat tersebut, namun 10 detik kemudian dia telah kehilangan kendali atas akun atau nomor Whatsapp pribadinya. Sejak saat itu, satu per satu akun-akun media sosial awak redaksi Narasi menjadi sasaran percobaan peretasan. Beberapa jurnalis berhasil memulihkan akun-akun mereka setelah mendapatkan pendampingan dari AJI Indonesia dan Tim Reaksi Cepat.  

Selain itu, Sasmito meminta Dewan Pers untuk mendesak aparat kepolisian mencari bukti, dan mengungkapkan fakta kasus peretasan terhadap Narasi. Dewan Pers juga perlu mengingatkan masyarakat agar menempuh mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Pers seperti meminta hak jawab dan hak koreksi.

Pengacara publik sekaligus peneliti pada LBH Pers, Ahmad Fathanah mendesak agar kepolisian segera melakukan pemeriksaan terkait kasus yang menimpa awak redaksi Narasi. “Seharusnya mereka bisa langsung bertindak tanpa ada pelaporan,” kata Fathanah.

Perwakilan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Nenden Sekar Arum mendesak hal serupa kepada polisi. Apalagi, kasus serangan digital bukan hal baru di Indonesia. KKJ menilai peretasan terhadap awak media Narasi sebagai tren yang marak belakangan terjadi saat media bersikap kritis dalam laporan jurnalistiknya. “Hal seperti ini bisa jadi teror,” tuturnya.

Soal pelaporan hukum dalam kasus Narasi, Fathanah mengungkapkan, pihaknya masih berkoordinasi dan melihat langkah hukum apa yang tepat. Dia juga merujuk pada kasus peretasan situs yang dialami Tirto.id dan Tempo sebelumnya. “Dua laporan itu belum ada tindak lanjutnya (dari polisi),” tuturnya.

Sementara itu, Teguh Aprianto dari Tim Reaksi Cepat mengidentifikasi peretasan yang terjadi menggunakan pola pembajakan akun dengan mencegat OTP (one time password) berupa SMS. Kondisi ini mirip dengan aksi-aksi peretasan atau pengambilalihan akun oleh pihak lain dengan pola duplikasi SIM card. “Misal pada kasus kawan-kawan eks KPK,” ujar Teguh.

Dia mengingatkan jurnalis untuk tidak lupa melakukan mitigasi dengan mengaktifkan verifikasi dua langkah atau two factor authentication pada aplikasi percakapan serta media sosialnya masing-masing. Untuk verifikasi dua langkah pada aplikasi WA, pengguna diminta mengaktifkan PIN alih-alih SMS. Pada akun Telegram, pengguna bisa memanfaatkan password.

“Pada medsos FB, Twitter, IG jangan gunakan SMS untuk 2FA tapi dengan menggunakan aplikasi pihak ketiga. Jika tidak dilakukan, maka (peretasan) bisa terus terjadi karena ada yang mengambil OTP,”  kata Teguh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement