REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno memandang kritik Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai dugaan kecurangan pemilu di 2024 berpotensi menjadi bumerang bagi Partai Demokrat. Menurut Adi, kritikan itu masih berupa asumsi sehingga tak bisa dibuktikan kebenarannya.
"Sebenarnya kritik yang semacam ini adalah perkara alamiah dalam politik kita, tapi kalau tidak kuat data dan argumen, maka akan menjadi blunder yang cukup luar biasa," kata Adi Prayitno dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (25/9/2022).
Adi menambahkan, kecurangan pemilu di pemerintahan SBY pernah terjadi pada 2009. Hal tersebut dibuktikan pada permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Sebab, saat itu banyak masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih saat kontestasi pilpres. Terlebih, bukti ini diperkuat dari pernyataan sikap dan petisi yang ditandatangani partai-partai oposisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis-aktivis demokrasi soal kecurangan tersebut.
"Ada 45 juta penduduk yang tidak menggunakan bahkan gagal menggunakan hak suaranya karena persoalan DPT. Pemilu 2009 dianggap gagal, lantaran disinyalir ada permainan dalam jumlah DPT yang kemudian menghilangkan begitu banyak hak suara," ujar Adi.
Sementara itu, mantan kader partai Demokrat, Gede Pasek Suardika menambahkan, tudingan kecurangan Pemilu 2024 yang dilontarkan SBY mempunyai motif politis. Sebab, ayahanda Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu menilai dalam parameter, jika anaknya tidak menjadi capres atau cawapres, maka ada kecurangan dalam Pilpres 2024 mendatang.
"Parameter yang terukur itu harus dibuktikan secara yuridis. Konteks yang disampaikan itu soal kemungkinan gagal anaknya jadi pasangan capres-cawapres, terlebih publik membaca soal itu," tegas Gede Pasek.
Selain itu, Gede Pasek menilai figur AHY sebagai tokoh di Pilpres 2024 kurang kuat. Menurutnya, AHY tidak mempunyai jam terbang yang mumpuni dalam memimpin sebuah negara.
Lebih lanjut, kata Gede, elektabilitas AHY sangat rendah saat ini. Hal ini masih sejalan dengan kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017 lalu di mana perolehan suara AHY masih menempati urutan ketiga saat itu.
"Karena Mas AHY kan belum pernah terjun, terlebih kemampuan elektoral Mas AHY di DKI nomor 3. Jadi kan tidak bisa dijual itu, sehingga harus orang lain yang dijual," sebut Gede Pasek.