REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNGBARAT -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengakui fenomena peretasan yang menyasar data pemerintah baru-baru ini termasuk ancaman serius. Sebab, LPSK menyimpan banyak informasi mengenai pengungkapan perkara di berbagai wilayah.
LPSK berwenang menyimpan data korban dan saksi dari suatu perkara. Sehingga kalau suatu peretasan sukses dilakukan terhadap LPSK, maka berpotensi mengancam keselamatan saksi dan korban terlindung. "Tentu (jadi ancaman). Karena itu kan menyangkut subjek-subjek orang-orang yang pernah mengungkapkan suatu perkara. Orang-orang yang punya kontribusi mengungkap perkara," kata Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu kepada wartawan di Kabupaten Bandung Barat pada Sabtu (24/9/2022).
Edwin menyebut, fenomena peretasan berpeluang besar merugikan korbannya. Sehingga ia meyakini fenomena peretasan ini tidak hanya mengancam LPSK, tapi lembaga dan individu lain. Karena data lembaga dan individu ada yang tersimpan secara daring.
"Ancamannya bukan untuk LPSK saja, tapi ancaman untuk semua. Baik warga maupun negara," ujar Edwin.
Edwin berharap praktek-praktek ilegal akses mampu dihentikan secepatnya oleh pemerintah. "Posisi di negara siapa yang punya tanggung jawab itu. Apakah Kominfo, apakah BSSN," kata dia.
Fenomena peretasan berujung kebocoran data santer dibicarakan di ruang publik. Sebab, sebanyak 1,3 miliar data nomor telepon seluler di Indonesia diduga bocor dan dijual di sebuah forum online "Breached Forums".
Awalnya, dugaan kebocoran data itu diungkap seorang anggota forum Breached, Bjorka pada 31 Agustus 2022. Unggahan itu mulanya mencantumkan logo Kemenkominfo dengan narasi kewajiban registrasi kartu SIM prabayar di Indonesia yang dimulai pada 31 Oktober 2017. Lalu Bjorka mengeklaim memiliki data 1.304.401.300 nomor ponsel pengguna di Indonesia, termasuk identitas penggunanya, NIK, informasi nama operator seluler, serta tanggal registrasi nomor HP terkait.