REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar komunikasi digital Universitas Airlangga (Unair) Rachmah Ida mengatakan, peretasan oleh Bjorka bukanlah bentuk protes atau demonstrasi modern. Meskipun ada sebagian masyarakat yang beranggapan apa yang dilakukan Bjorka merupakan bentuk dari protes atau demonstrasi modern dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.
“Jadi, ini bukan bentuk demonstrasi. Demonstrasi artinya menyuarakan kepentingan kelompok atau masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak prorakyat,” kata Rachmah, Kamis (22/9/2022).
Rachmah mengatakan, fenomena peretasan itu sudah terjadi di dunia internasional sejak lama. Ia mengingatkan Julian Assange, pendiri WikiLeaks, yang membocorkan rahasia-rahasia Gedung Putih.
Kemudian apa yang dilakukan Julian Assange pada saat itu membuka mata dunia, apabila data tidak secure akan mudah di-hack. "Jadi, fenomena Bjorka ini adalah fenomena hacking,” ujar Rachmah
Demonstrasi, kata Rachmah, dijamin dalam negara demokrasi dan termaktub dalam First Amandment, yaitu berupa freedom of speech. Maka dari itu ia menyimpulkan peretasan Bjorka adalah cyber crime. Rachmah menuturkan, cyber law melarang hacking, scam, cyber crime, cyber bully, dan sebagainya.
Rachmah melanjutkan, teknologi digunakan untuk menyampaikan aspirasi itu sah-sah saja. "Kita boleh mengkritik, tetapi tidak boleh bersifat personal. Misalnya, mengatai orang jelek, gemuk, dan lain-lain. Itu namanya diskriminasi. Kalau mengkritisi pelayanan publik suatu institusi ya boleh,” kata dia.