Jumat 23 Sep 2022 01:14 WIB

Kewarganegaraan Ganda, Mungkinkah Diterapkan di Indonesia?

Sistem kewarganegaraan ganda mungkinkah bisa diterapkan di Indonesia.

Warga negara Indonesia yang berada di luar negeri/Diaspora, ilustrasi. Sistem kewarganegaraan ganda mungkinkah bisa diterapkan di Indonesia menjadi bahasan dalam acara webinar.
Foto: Perhimpunan Pelajar Indonesia
Warga negara Indonesia yang berada di luar negeri/Diaspora, ilustrasi. Sistem kewarganegaraan ganda mungkinkah bisa diterapkan di Indonesia menjadi bahasan dalam acara webinar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sampai dengan tahun 2020, 76 persen negara di dunia sudah memiliki respon yang positif terhadap pendekatan kewarganegaraan ganda (double citizenship) dan mengizinkan warga negaranya untuk memiliki kewarganegaraan dari negara lain tanpa menghilangkan kewarganegaraan dari negara asalnya.

Pada saat ini, lebih dari 130 negara menerima atau mentolerir kewarganegaraan ganda dalam berbagai macam bentuk. Politik hukum kewarganegaraan tunggal yang dianut oleh Indonesia saat ini menurut Nia selaku Ketua Aliansi Pelangi Antar Bangsa, belum memberikan perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran, seperti halnya keluarga Indonesia pada umumnya.

“Seperti mayoritas negara di dunia saat ini telah memberlakukan Kewarganegaraan ganda bagi Keluarga Perkawinan Campuran, maka selayaknya Indonesia memberi perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran dengan penerapan azas kewarganegaraan ganda," kata Nia dalam rilis yang diterima, pada Kamis (22/9/2022).

Lebih lanjut, Nia mengatakan Politik hukum kewarganegaraan tunggal mungkin relevan pada masanya. Namun seiring perkembangan jaman dan globalisasi, maka sekarang sudah saatnya Indonesia menganut kewarganegaraan ganda.

Isu ini dibahas melalui Webinar Kewarganegaraan Ganda Seri 4, “Politik Hukum Kewarganegaraan Tunggal Dikaitkan dengan Tren Global: Cukupkah Memberikan Perlindungan untuk Warganya?”, yang berlangsung hari Kamis kemarin, 15 September 2022.

Dalam presentasinya, Cahyo Rahadian Muzhar, S.H., LL.M selaku Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum mengakui bahwa salah satu hal yang mempengaruhi adanya kebutuhan kewarganegaraan ganda adalah banyaknya migrasi warga negara akibat globalisasi ke negara yang memiliki sistem kewarganegaraan yang berbeda.

Cahyo pun mencontohkan Beberapa keuntungan terhadap isu kewarganegaraan ganda apabila diterapkan dan diakomodir di Indonesia. Kewarganegaraan ganda dinilai berpotensi meningkatkan perekonomian nasional salah satunya pengaruh positif terhadap peningkatan keuangan inklusif serta menjadi salah satu sumber devisa yang berpengaruh pada perkembangan ekonomi Indonesia.

"Juga mendorong perkembangan perdagangan karena menumbuhkan perekonomian antar negara. Serta memperluas kesempatan kerja, serta berpotensi meningkatkan human capital, skill, network warga negara Indonesia," kata Cahyo.

Menurutnya, ada tiga faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi berkewarganegaraan ganda yaitu asas berkewarganegaraan berbeda, perkawinan campuran WNI dan WNA dan memperoleh kewargaanegaraan negara lain

Cahyo menilai, menjadi kerugian jika melihat banyak anak-anak perkawinan campuran melepas WNI dan memilih menjadi WNA. "Karena memang UU di Indonesia mengatur demikian atau Warga Negara Asingnya mengatur jika bekerja di industri strategis hanya boleh memiliki satu warga negara, contohnya Amerika Serikat," kata dia.

Dosen Hukum Perdata Internasional dari FHUI, Dr. Tiurma Mangihut Pitta Allagan, S.H. M.H memaparkan Kewarganegaraan dalam hukum perdata internasional. Jika dilihat dari kacamata HPI, kewarganegaraan ini sebagai salah satu titik taut penentu yang menunjuk hukum yang berlaku pada pribadi kodrati untuk menentukan status personalnya, termasuk di dalamnya perlindungan diberikan oleh negara yang memberikan Kewarganegaraan.

Mengingat pada definisi kewarganegaraan, maka menurutnya, kewarganegaraan ganda terbatas itu sebenarnya sudah memberikan suatu opsi yang sangat baik.

"Hanya persoalannya bagaimana memilihnya? Karena kewarganegaraan tidak hanya memilih soal status personal, hak, dan kewajiban, atau kewajiban pembayaran pajak, tapi kita harus melihat genuine link-nya kemana? Perasaannya lebih dekat ke negara yang mana. Hal ini yang menjadi persoalan," kata Tiurma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement