REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengaku telah menginstruksikan Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk membentuk Satgas Perlindungan Siswa di sekolah. Pembentukan Satgas tersebut untuk menyikapi masih seringnya terjadi kekerasan di lingkungan skolah. Khofifah melanjutkan, sebagai upaya pencegahan kekerasan, hal paling krusial yang harus dipahami sekolah adalah bentuk kekerasan serta dampak yang mungkin ditimbulkan dari tindak kekerasan.
"Banyak kasus tindak kekerasan terjadi karena ketidaktahuan pelaku maupun korban. Beberapa tindakan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang biasa, tetapi sebenarnya berpengaruh besar pada diri korban," ujarnya di Surabaya, Kamis (22/9/2022).
Salah satu bentuk kekerasan, kata Khofifah, adalah mempermalukan seseorang di depan orang lain. Juga menuliskan komentar yang menyakitkan di sosial media, mengancam, menakut-nakuti orang lain sampai yang bersangkutan tidak nyaman. Begitu juga menyebarkan cerita bohong mengenai orang lain.
Semua itu, kata dia, termasuk dalam tindakan kekerasan yang seringkali terjadi namun tidak dianggap serius sehingga berulang. "Dengan mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dan faktor yang membuat seseorang melakukan tindak kekerasan, kita akan menjadi lebih mawas diri agar tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan dan saling menghargai satu sama lain," ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Wahid Wahyudi mengaku telah mendorong semua kepala sekolah melalui cabang dinas pendidikan wilayah untuk membuat Satgas Perlindungan Siswa di sekolah. Adapun, pihak yang terlibat menjadi keanggotannya adalah sekolah, orang tua siswa atau komite, dan siswa atau OSIS.
Sementara bagi sekolah dengan boarding school yang ada di kawasan pesantren atau kawasan lainnya, perlu ditambahkan perwakilan dari pesantren atau pengelola asrama. Wahid juga berpesan agar sekolah terus mengoptimalkan dan memperkuat esktrakulikuler siswa. Ia berpendapat, dengan menyalurkan dan memaksimalkan potensi, bakat, dan minat siswa, peluang untuk melakukan kekerasan pada teman sebanyanya menjadi berkurang.
"Para guru juga harus menyusun pembelajaran yang terintegrasi dengan program anti kekerasan. Penguatan intrakurikuler dan kokurikuler juga harus diperkuat," kata Wahid.