Rabu 21 Sep 2022 20:20 WIB

Badan Pengkajian MPR Wacanakan Pilkada tak Langsung dengan Alasan Biaya

Pilkada tidak langsung bisa mengurangi pengeluaran negara.

Rep: Febryan A/ Red: Indira Rezkisari
Ilustrasi pilkada.
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi pilkada.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewacanakan penerapan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara tidak langsung. Wacana ini muncul karena sejumlah alasan, mulai dari demokrasi Indonesia yang dinilai sudah liberal hingga tingginya biaya pilkada langsung.

Wacana tersebut mencuat dalam pertemuan antara Badan Pengkajian MPR dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU, Jakarta, Rabu (21/9/2022). "Tadi menjadi satu perbincangan menarik antara KPU dan Badan Pengkajian MPR terkait sistem demokrasi Indonesia yang sudah mengarah ke sistem demokrasi liberal individualistik, termasuk dalam pilkada," ujar Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Saiful Hidayat, dalam konferensi pers usai pertemuan itu.

Baca Juga

Karena itu, Djarot mempertanyakan apakah memungkinkan pilkada digelar secara asimetris. "Sehingga, tidak semua (kepala daerah) dipilih secara langsung," ujarnya. Bisa jadi hanya gubernur yang dipilih langsung, atau hanya bupati/wali kota yang dipilih langsung oleh rakyat.

Menurut Djarot, pilkada tidak langsung bisa mengurangi pengeluaran negara maupun biaya yang digelontorkan calon kepala daerah. Adapun pilkada langsung seperti saat ini sudah terbukti berbiaya tinggi. Untuk gelaran Pemilu Serentak 2024, negara harus menggelontorkan dana sekitar Rp 100 triliun.

Tak hanya negara, para calon kepala daerah juga harus mengeluarkan dana besar. "Sebagian besar dana pilkada calon kepala daerah disediakan oleh para pemodal," ujar Djarot.

Untuk mengganti biaya pilkada nan mahal itu, akhirnya banyak kepala daerah yang melakukan praktik korupsi. "Salah satu dampak negatif (pilkada langsung berbiaya tinggi) adalah banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi," kata politikus PDIP itu.

Djarot menambahkan, penerapan pilkada tidak langsung sudah ada contoh suksesnya, yakni di DKI Jakarta. Masyarakat Jakarta hanya memilih gubernur, sedangkan wali kota dan bupati ditunjuk. "(Buktinya Jakarta) aman, bagus, tidak ada masalah," ucap eks Gubernur DKI Jakarta itu.

Di sisi lain, lanjut dia, ada pula daerah yang sebenarnya memang belum siap sama sekali untuk melaksanakan pilkada langsung. Misalnya, daerah otonomi baru.

Djarot mengatakan, wacana pilkada tak langsung ini akan dikaji secara serius oleh Badan Pengkajian MPR. Ia menargetkan proses pengkajian rampung dalam tahun ini. Hasil kajian itu selanjutnya akan jadi rekomendasi MPR.

Ketika ditanya apakah pilkada tidak langsung akan diterapkan saat Pilkada Serentak 2024, Djarot menyebut kecil kemungkinannya. Sebab, sudah tidak bisa lagi melakukan revisi UU Pemilu.

"Berarti kita menyiapkan kajian ini untuk periode ke depan supaya kita tidak terjebak terus dengan persoalan-persoalan demokrasi liberal individual seperti saat ini," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement