REPUBLIKA.CO.ID,BANDAR LAMPUNG--Selisih harga yang tinggi membuat Pemprov Lampung memperketat distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi untuk petani dan nelayan di Lampung. Ketersediaan pasokan BBM untuk petani dan nelayan sangat penting untuk meningkatkan produktivitasnya.
Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Lampung Kusnardi mengatakan, pasokan BBM subsidi untuk petani dan nelayan saat ini masih cukup normal sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang produktivitas di bidang pertanian dan perikanan.
“Pasokan BBM untuk petani dan nelayan sangat penting, namun distribusinya harus dilakukan pengawasan secara berkala,” kata Kusnardi di Bandar Lampung, Senin (19/9/2022).
Menurut dia, pengawasan distribusi BBM pada kedua sektor tersebut untuk menjaga dan menopang produksi pertanian dan perikanan di Lampung. Untuk itu, ketika ketersediaan BBM terjamin petani dan nelayan dapat menjalankan aktivitasnya dengan baik.
Sedangkan, pada praktiknya untuk mendapatkan jatah BBM, dia mengatakan, petani dapat menunjukkan surat rekomendasi dari lurah atau kepala dinas setempat agar dapat mengisi BBM subsidi untuk alat atau mesin pertaniannya.
Sedangkan, untuk kalangan nelayan, pembelian BBM subsidi dapat dilakukan pencatatan secara daring di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) setempat. Pencatatan ini, menurut Kusnardi, untuk mencegah adanya peluang distribusi BBM subsidi yang tidak tepat sasaran.
“Ketersediaan BBM dan distribusinya dijaga ketat dan diawasi penggunaan solar untuk industri,” kata Kusnardi.
Dia mengatakan, ketimpangan harga BBM subsidi dengan nonsubsidi dapat menjadi peluang pihak tertentu untuk memanfaatkannya secara tidak tepat sasaran, terutama kepada kedua sektor tersebut. Pemprov Lampung terus melakukan pengawasan dan penjagaan ketat dalam pola distribusinya.
Berdasarkan penelusuran di kampung nelayan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lempasing, Bandar Lampung, sejumlah nelayan mengaku masih kesulitan mendapatkan jatah BBM subsidi jenis solar. Ketiadaan pasokan BBM tersebut, membuat nelayan terpaksa membeli solar nonsubsidi agar kapalnya bisa melaut.
“Solar di SPBN selalu kosong, jadi nunggu empat hari baru bisa beli solar untuk kapal,” kata Abdul (48 tahun), nelayan TPI Lempasing.
Menurut dia, bila menunggu empat sampai lima hari, kapal tangkapan ikannya harus menganggur lama. Bila pasokan datang, ia mendapat jatah hanya 400 sampai 500 liter untuk melaut empat sampai lima hari saja. Untuk itu, nelayan terpaksa membeli solar di luar SPBN tapi dengan harga mahal.
Ketiadaan solar di SPBN mengganggu jadwal melaut nelayan. Pasalnya, solar menjadi motor penggerak agar kapal bisa melaut menangkap ikan lagi di laut. “Kalau menunggu berhari-hari, jelas pendapatan kami berkurang,” ujarnya.