Jumat 09 Sep 2022 20:27 WIB

Mencari Jalan Tengah di Cilegon dalam Kasus Penolakan Pembangunan Gereja

Kasus penolakan pembangunan gereja di Cilegon sejatinya bukan kasus baru.

Prof Arskal Salim, MA, Ph.D, Kapuslitbang Lektur Kemenag RI
Foto:

Koeksistensi Saat Ini

Secara demografis, BPS mencatat umat beragama di Cilegon pada tahun berjalan ini terdiri dari Muslim (444,965 jiwa), Kristiani (7,003 jiwa), Katolik (1,823 jiwa), Buddhis (1,676 jiwa), dan Hindu (244 jiwa). Keberagaman agama ini rupanya tidak selaras dengan keberagaman tempat ibadahnya.

Di kota ini, hanya ada tempat ibadah bagi Muslim yaitu masjid. Terdapat 382 masjid dan 297 musholla di kota ini (tirto.id, 15 Juli 2022), namun tidak ada satupun tempat ibadah (yang berizin) bagi pemeluk agama lain.

Di sinilah muncul pertanyaan: Mengapa koeksistensi pemeluk agama di kota Cilegon tidak selaras dengan koeksistensi tempat peribadatannya? Bagaimana bisa fakta heterogenitas beragama di Cilegon diabaikan begitu saja oleh sebagian penduduknya? Mengapa rumah ibadah suatu agama kemudian ditolak, sedangkan ada ribuan pemeluknya yang memerlukan peribadatan?

Peristiwa penolakan pendirian gereja di Cilegon merupakan bagian isu koeksistensi, yang resolusinya meniscayakan adanya mutual respect (saling menghormati perbedaan) dan toleransi aktif terhadap pemeluk agama lain. Diperlukan komitmen yang kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah secara damai tanpa kekerasan.

Motto kota Cilegon yaitu “Akur, sedulur, jujur, adil, makmur” seharusnya tidak hanya menjadi asesoris belaka. Akur dan sedulur yang merupakan dua nilai utama dari koeksistensi seyogyanya menjiwai perilaku sosial keberagamaan di antara penduduk kota Cilegon. Hal ini dapat ditandai dengan adanya kelapangan dada terhadap pendirian rumah ibadah agama lain.

Tawaran (re)solusi

Adakah solusi untuk menjawab masalah koeksistensi rumah ibadah di kota Cilegon itu? Pemerintah melalui Kementerian Agama mencoba menawarkan suatu jalan keluar. Inisiatif Menteri Agama, Gus Yaqut untuk bertemu wali kota sesungguhnya adalah sebuah undangan dialog bagi pihak-pihak yang terkait.  

Dialog antarpemuka agama diharapkan dapat mengkomunikasikan perspektif kedua belah pihak, menemukan middle ground (jalan tengah), meminimalisir ketegangan di level grassroot (akar rumput) dan akhirnya merumuskan komitmen bersama untuk hidup berdampingan secara akur, sedulur, rukun dan damai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement