Jumat 09 Sep 2022 08:44 WIB

Ratu Inggris Elizabeth II Wafat: Als ik Brits was....?

Suasana paradoks mendengar wafatnya Ratu Inggris.

Ratu ELizabeth II
Foto:

photo
Prasasti invasi Inggris ke Kraton Kesultanan Mataram Yogyakarta yang disebut 'Geger Sepehi' di Kampung Wijilin Jogjakarta - (istimewa)

 

Bagi orang Jawa kenangan akan kekejaman bala tentara yang mengabdi kepada raja dan ratu Inggris juga terjejak abadi. Semua tahu di awal tahun 1800-an bala tentara Inggris yang banyak legiunnya merupakan anak negeri dari India (leguin Sepoy) meluluhlantakkan Kesultanan Mataram Yogyakarta. Kenangan itu berbekas hingga sekarang. Bahkan di bilangan Pojok Beteng Lor Wetan Kampung Wijilan, Gondomanan, Jogjakarta sudah dibangun monumen prasastinya. Sultan Jogjakarta Hamengku Buwono X, misalnya dalam bebagai kesempatan pun sempat menyebut kisah penyerbuan tentara yang mengabdi ke raja dan ratu Inggris secara getir.

Salah satu kisah dari Sultan Hamengku Buwono X ketika mengenang kegiatan perang itu adalah ketika bala tentara itu membawa  naskah intelektual Jawa dengan puluhan gerobak ke pelabuhan yang ada di Semarang sebelum diangkut dengan kapal laut ke Inggris yang terletak di negeri nun jauh di Eropa. Dan, dari naskah ini publik dunia mengenal kemudian tulisan monumental dari "Raffles: Histori of Java". Naskah itu kini tersimpang di Britisih Museum dan baru sebagian kecil dipulangkan.

Memang Sultan Yogyakarta, hanya menyebut sebatas itu. Dia tampak enggan menyebut fakta sejarah yang kelam lainnya dari peristiwa yang disebut 'Geger Sepoy' itu. Dia tak menyebut adanya perampokan yang terjadi di dalam keraton Yogyakarta. Ini misalnya ketika baju kebesaran Sultan yang bertahtakan banyak mutiara dipreteli tanpa ampun. Sultan juga enggan menyebut kisah dari para pangeran kerajaan yang rumahnya digeledah legiun Inggris untuk mencari permata. Bahkan, orang Inggris bersenjata kala itu sempat memaksa habis-habisan seorang putri bangsawan keraton agar menyerahkan perhiasan permata yang besarnya mencapai ibu jari yang disembunyikan di dasar sumur.

Baca juga : Pangeran Charles Naik Takhta, Publik Soroti Reputasinya yang Penuh Kontroversi

Sama hal dengan orang Afrika, ketika memandang sosok raja dan ratu Inggris juga penuh dilematis. Publik dunia pasti akan selalu bicara dan silau ketika melihat kerlipan permata di mahkota ratu Inggris yang indah. Sinarnya berbinar-binar bagai kerlip bintang kejora. 

Namun, bagi orang Afrika kerlipan permata dan kemewahan takhta mahkota Ratu Inggris juga simbol dari luka penjajahan mereka yang sangat dalam. Ini karena permata itu di dapat dari Afrika yang sangat lama menjadi koloni Inggris. Bahkan berkat penjajahan itu orang-orang Afrika Selatan sampai menjelang abad 21 M lalu masih hidup dalam sistem apartheid: di mana warga Afrika yang beruklit hitam dianggap sebagai warga kelas dua sementara warga kulit putih yang dari tuan koloninya asal Inggris adalah warga utama.

Akhirnya, ketika mendengar Ratu Inggris wafat, ingatan ini kembali kepada tulisan seorang pangeran dari Kesultanan Yogayakarta yang kemudian menjadi bapak pendidikan Indonesia, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Kala itu dia memprotes mengenai perayaan hari ulang tahun Ratu Inggris di Hindia Belanda. Dengan penuh satire dia menyebut hal itu dalam tulisan di surat kabar De Expres yang dipimpin Douwes Dekker, edisi 13 Juli 1913: "Als ik een Nederlander was"' (Seandainya Aku Seorang Belanda). "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya."

Jadi kalau hari ini saya orang Jawa dan Indonesia, apakah saya akan sedih atau gembira atas wafatnya Ratu Inggris? Ini karena pagi ini baru saja makan nasi gudeg dan brongkos...! 

Baca juga : Sepak Terjang Pangeran Charles, Raja Inggris Baru

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement