REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Aparat kepolisian masih terus melakukan penyelidikan terkait kasus kekerasan yang terjadi di salah satu sekolah menengah pertama (SMP), di wilayah Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Namun, kasus itu kemungkinan akan diselesaikan melalui prinsip keadilan restoratif atau restorative justice.
Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Cikajang, Inpektur Satu (Iptu) Sularto, mengatakan, saat ini pihaknya masih terus melakukan penyelidikan terkait kasus itu. Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, kekerasan itu muncul akibat saling ejek antara korban dan pelaku.
"Itu masih berjalan penyelidikan. Namun, kami mengupayakan untuk RJ (Restorative Justice) atau diversi," kata dia saat dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat (19/8/2022).
Menurut dia, penyelesaian kasus di luar pengadilan itu adalah langkah yang paling bijaksana untuk diambil. Pasalnya, korban dan pelaku masih berstatus usia anak. Artinya, korban dan pelaku harus sama-sama dilindungi. Apalagi, kasus tersebut juga telah diselesaikan oleh pihak sekolah.
"Kedua pihak sudah bermusyawarah," ujar Kapolsek.
Ihwal kondisi korban, Sularto mengatakan, hingga saat ini yang bersangkutan masih belum mau kembali ke sekolah. Bahkan korban meminta untuk pindah sekolah.
Ihwal keinginan korban untuk pindah sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten Garut akan memfasilitasinya. Kepala Disdik Kabupaten Garut, Ade Manadin, mengaku sudah berkunjung ke rumah korban pada Kamis (18/8/2022).
"Korban sampai sekarang memang belum masuk sekolah. Memang disuruh istirahat dulu. Namun kami akan fasilitasi korban apabila mau pindah sekolah," kata dia saat dikonfirmasi Republika.co.id, Kamis.
Ia menambahkan, pihaknya juga telah meminta keterangan kepada sejumlah saksi kejadian tersebut, mulai dari kepala sekolah, guru, juga sejumlah siswa teman sekelas korban dan pelaku. Menurut dia, peristiwa itu terjadi karena saling ejek antara korban dan pelaku.
Berdasarkan hasil keterangan dari sejumlah saksi itu, peristiwa itu bermula ketika korban yang berinisial M mengolok-olok salah seorang pelaku yang berinisial VS terkait masalah pribadinya, pada Rabu (10/8/2022). Alhasil, pelaku emosi dan terjadi perselisihan (kontak fisik) di antara mereka. Namun, perselisihan itu dapat dilerai oleh salah satu teman sekelas mereka.
Setelah mereka kembali ke tempat duduknya masing-masing, M kemudian naik ke atas meja dan menendang VS dari belakang. VS yang tak terima kemudian meninju wajah M. Salah seorang pelaku lainnya yang berinisial LP kemudian mendekap M dengan motif yang berbeda. Pelaku LP takut dilaporkan oleh M atas kenakalan yang dilakukannya.
Kejadian itu bisa dilerai oleh para siswa lainnya. Setelah itu, M tiba-tiba terkulai lemas dan dibawa ke Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Selanjutnya, korban dirujuk ke puskesmas untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Pihak sekolah yang mengetahui hal itu langsung menghubungi orang tua korban. Sementara guru di sekolah itu telah memanggil kedua pelaku dan meminta mereka tak mengulangi perbuatannya. Kedua orang tua pelaku juga telah diberi tahu terkait masalah itu.
Ade mengatakan, masalah itu telah diselesaikan secara kekeluargaan oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak juga sudah saling memaafkan. Namun, hingga saat ini korban masih belum kembali masuk sekolah.
Ia tak ingin menyalahkan salah satu pihak atas terjadinya tindak kekerasan itu. Ia menilai, korban memang harus diselamatkan, tapi bukan berarti sekolah harus menjadi sasaran atas kejadian itu.
"Semua harus diselamatkan, termasuk pelaku. Trauma healing bukan hanya harus dilakukan kepada korban, tapi juga kepada pelaku. Karena pelaku masih berusia anak juga," ujar dia.