Kamis 11 Aug 2022 11:03 WIB

Genjer Genjer-nya Nyoto, Konser Dream Theater Zaman Cak Imin dan Munajat Cinta Prabowo

Musik dan lagu hingga konser sudah mulai di pakai dalam kampanye politik

Penampilan grup musik Dream Theater saat tampil pada konser Top Of The World Tour di Halaman Parkir Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (10/8/2022). Dream Theater menggelar konser selama dua jam membawakan lagu dari koleksi album terbaru mereka A View From The Top Of The World.
Foto:

Dari Genjer-genjer Ala Nyoto, Oma Irama, Hingga Munajat Cinta

Dalam soal musik dan politik, salah satu lagu yang begitu melekat di publik adalah lagu Genjer-Genjer karya musisi asal Banyuwangi, Moh Arief. Lagu yang dibuat pada tahun 1940-an dengan menggunakan bahasa Jawa ala Banyuwangi ‘osing’ adalah awalnya lagu daerah atau lagu rakyat biasa.

Tapi lagu Genjer-Genjer, pada awal 1960-an dipompa kepopulerannya oleh tangan dingin petinggi PKI, Nyoto. Dia menjadikan lagu ini menjadi identitas partainya selaku pembela ‘wong cilik’ yang papa, yakni kaum miskin kota dan penduduk desa yang kebanyakan petani yang tak punya tanah (buruh tani).

Lagu ini kemudian diperdengarkan di berbagai ajang rapat  partai itu. Dari sanalah lagu ini mengalun luas. Lagu ini menjadi tip hits zaman itu. Dari orang tua hingga anak kecil menyanyikan lagu ini.

’’Ketika saya mengajar di sekolah, tiba-tiba dalam pelajaran menyanyi di kelas, anak-anak murid saya meminta menyanyikan lagu Genjer-genjer itu. Lalu saya tanya: kenapa lagu itu? Jawab mereka dengan polos: lagu itu enak ibu,’’ kata seorang ibu guru pensiunan mengenangkan kala dia mengajar di sebuah sekolah di Banyumas pada awal 1960-an. Dia pun melanjutkan kisahnya bila lagu Genjer-Genjer itu juga dinyanyikan secara meluas oleh para pengamen yang keliling kampung dengan iringan tetabuhan kentrung (kendang keci).

‘’Pokoknya terkenal sekali. Setiap kali ada pengamen maka mereka nyanyi lagu Genjer-Genjer,’’ ujar ibu yang kini telah berusia 82 tahun. Lagu ini kontan raib dari pendengaran publik meski sempat dinyanyikan dengan sangat merdu dalam rekaman piringan hitam oleh Bing Slamet. Penyebabnya pada era Orde Baru lagu ini diidentikan dengan PKI.

photo
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo berfoto bersama istri dan dua anaknya di sela-sela menonton pertunjukan Dream Theater di Jogjarockarta International Rock - ()

Keriuhan musik menjadi identitas politik, setelah lagu Genjer-Genjer bersambung ke era Oma Irama. Dia terang-terangan menjadikan lagunya menjadi identitas Islam, yakni sebagai ekspresi partai berlambang Ka’bah yang menjadi oposan utama Orde Baru: PPP. 

Maka berkat lagu-lagu Oma, panggung kampanye PPP selau riuh dijubeli masa. Partai Golkar kala itu pun tak mau kalah. Mereka kerahkan para penyanyi sekaligus juga menguasi sajian musik di panggung televisi (TVRI) dengan mengerahkan rombongan artis yang disebut sebagai ‘Artis Safari’. Fenomena ini memuncak dengan lagu karya Titiek Puspa yang bertajuk ‘Pak Harto bapak pembangunan’!

Menariknya, melewati masa reformasi, baru pada periode pemilihan presiden langsung yang kedua, lagu dan musik menjadi pesan politik muncul kembali. Lagu-lagu ‘Ada Pelangi di Matamu’ dari grup rock Jamrud sampai lagu bertema religi ‘Sajadah Panjang’ dari grup musik pop Bimbo, mengiringi pentas politik itu.

Jadi bila hari ini lagu-lagu band metal ala Dream Theatar riuh meraung di telinga Cak Imin, Ganjari hingga Gibran tak usah heran. Lagu grup itu yang memekakan telinga dia rasakan lagu  yang menentramkan. Lagu cadas yang hingar bingar itu tak beda dengan lagu melankoli dari Ahmad Dhani yang kehilangan kekasih ‘Munajat Cinta’. Semuanya lagu itu kini menjadi berkelindan dengan tema politik.

Maka ojo gumunan (jangan suka heran). Ingat Tidak ada barang yang benar-benar baru di bawah terik matahari..!

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement