REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Program prioritas Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) pada 2022 fokus membantu penanggulangan masalah pangan dan energi. Situasi pandemi dan perang Rusia-Ukraina dinilai telah menimbulkan perubahan kondisi yang luar biasa pada pasokan pangan dan energi dunia yang turut memengaruhi Indonesia.
"Pandemi mengajarkan kita harus memiliki kedaulatan pangan dan energi. Jadi bukan hanya cukup pangan dan energi, tetapi harus berdaulat. Itu menjadi fokus kami bagaimana bisa mendukung kedaulatan pangan dan energi lebih kuat dan siap ke depannya," ujar Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, lewat siaran pers, Jumat (5/8/2022).
Handoko mengatakan kedaulatan pangan, termasuk kesehatan, merupakan tujuan utama BRIN. Dalam konteks pada saat pandemi, pihaknya belajar banyak seperti menghadapi masalah vaksinasi yang terbatas, dengan waktu singkat untuk populasi yang sedemikian besar. "Kita masih belum mengetahui sampai kapan harus vaksin secara terus-menerus. Itulah makanya salah satu fokus kami bahwa konteks kedaulatan pangan untuk riset masih terus dilanjutkan untuk vaksin," kata dia.
Di sisi lain, Handoko menyebutkan, kedaulatan energi termasuk salah satu fokus utama BRIN untuk jangka pendek sampai tahun 2024. Kedaulatan energi, termasuk kebencanaan dan lingkungan, adalah isu utama di Indonesia, yang memiliki populasi besar namun mempunyai masalah lingkungan yang sangat spesifik.
“BRIN memiliki banyak aspek dan aspek energi sangat luas mulai dari energi konvensional, contohnya terkait bahan bakar minyak, tetapi kita masuk ke realisasi misalnya campuran B40 untuk solusi jangka pendek karena belum bisa ke listrik dan bagaimana mengurangi BBM memanfaatkan sumber energi terbarukan misalnya minyak sawit dan sebagainya, karena kita kaya dengan sumber-sumber hayati," kata dia.
Handoko juga mengatakan, tanpa disadari nuklir telah ada di sekitar kita sejak lama. Contohnya di rumah sakit seperti peralatan medis, di mana terapi medis berbasis nuklir yang sudah menjadi standar. Apalagi, Indonesia adalah negara nuklir pertama di Asia yang memiliki reaktor sejak tahun 1958, bahkan sebelum Jepang dan Korea. “Kita sudah lama dan memiliki tiga reaktor di Bandung, Puspiptek Serpong, dan Yogyakarta,” kata dia.
Handoko juga mengungkapkan, setelah integrasi, dana BRIN cukup memadai karena BRIN telah melakukan perubahan pola manajemen riset. Biaya yang paling besar pertama adalah infrastruktur seperti investasi, pemeliharaan maupun operasional. Kedua, biaya sumber daya manusia (SDM) yaitu gaji.“Untuk biaya bahan riset lebih murah, kita memakai sistem di berbagai negara yaitu kompetisi, jadi setiap orang harus berkompetisi untuk mendapatkan dana riset untuk bahan, sehingga banyak tim-tim riset sudah bisa riset karena infrastruktur ada. Infrastruktur inilah yang kita buka aksesnya, termasuk untuk kampus dan tidak hanya untuk periset BRIN," kata dia.
Handoko menjelaskan, ada sembilan skema hibah riset dan inovasi, terdiri atas skema riset ada empat, sedangkan lima untuk skema inovasi. Contoh skema inovasi, yaitu skema pengujian produk inovasi kesehatan untuk uji klinis tidak diberikan ke periset, tetapi ke tim uji klinis yang independen bermitra kepada pelaku usaha seperti industri farmasi. Hal ini akan mempercepat kandidat seperti obat bisa dikomersialisasi.
Selain itu, Handoko mengharapkan melihat periset BRIN benar-benar bisa menjadi yang terdepan secara global dan periset yang akan membawa daya saing negara dan bangsa. “Kita harapkan periset BRIN harus menjadi periset-periset unggul yang mampu menjadi yang terdepan dan membawa gerbong para periset dan inovator Indonesia dari manapun mereka berasal seperti industri, kampus,” kata Handoko.