Kamis 04 Aug 2022 03:44 WIB

Liza Thohir: Cegah Stunting Itu Penting!

FIADIFA merasa perlu mengangkat tema stunting untuk mengedukasi para ibu muda.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ilham Tirta
ilustrasi Stunting
Foto: Republika/Mardiah
ilustrasi Stunting

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita. Karena itu, Forum Istri Anggota Holding Farmasi (FIADIFA) merasa perlu mengangkat tema stunting agar dapat mengedukasi para ibu muda di Indonesia.

Dalam Rangkaian Hari Ulang Tahun (HUT) Bio Farma ke 132 tahun FIADIFA turut berpartisipasi dengan meluncurkan buku dengan judul “Cegah Stunting Itu Penting” karya FIADIFA. Ketua Umum FIADIFA, Ita Honesti Basyir mengatakan, pentingnya edukasi tentang stunting ini dimulai dari keluarga terdekat.

Baca Juga

"Kami menyadari pentingnya edukasi tentang stunting ini dimulai dari keluarga terdekat," kata Ketua Umum FIADIFA Ita Honesti Basyir dalam peluncuran buku “Cegah Stunting Itu Penting” di Jakarta, Rabu (3/8/2022).

Ita mengatakan, FIADIFA memberikan perhatian yang besar atas isu stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi tersebut terjadi sejak bayi dalam kandungan dan kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia sekitar dua tahun.

Diketahui, salah satu tantangan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang unggul adalah masih tingginya prevalensi stunting di Indonesia. Stunting berdampak pada rendahnya kualitas SDM karena banyak penelitian yang menyimpulkan stunting berhubungan dengan munculnya penyakit generatif pada usia dewasa.

"Permasalahan stunting merupakan permasalahan yang cukup kompleks dan membutuhkan kerja sama semua pihak dan keterlibatan semua elemen masyarakat," tuturnya.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Ketua IIP BUMN, Elizabeth Thohir mengatakan, satu dari lima tahapan besar visi Indonesia yang disampaikan melalui pidato Presiden pada 14 Juli 2019 adalah pembangunan SDM yang menjadi kunci Indonesia di masa mendatang. Presiden, kata Elizabeth, menyebutkan bahwa pembangunan SDM dimulai dari upaya menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, balita, dan anak usia sekolah.

"Penanganan stunting dan upaya untuk mengatasi kematian ibu dan bayi sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh karenanya, saya mengajak stakeholder dan pegiat stunting terus membunyikan bahwa "cegah stunting itu penting," ujar Elizabeth.

Elizabeth melanjutkan, pemerintah dalam menurunkan stunting secara konsisten melakukan berbagai upaya dan melibatkan banyak pihak baik di tingkat pusat maupun daerah. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi angka stunting mengalami penurunan dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,7 persen di tahun 2017.

Tren ini terus berlanjut pada tahun 2019 dan diharapkan akan terus mengalami penurunan untuk mencapai target nasional 14 persen di tahun 2024. Untuk mencapai target ini dibutuhkan peran serta semua elemen masyarakat dari tingkat keluarga, tempat kerja, nonprofit maupun organisasi lainnya.

"Keberadaan keluarga sangat penting, kemajuan bangsa tak lepas dari kualitas keluarga, dan kualitas keluarga dibentuk dari asupan gizi sehingga target Indonesia bebas stunting dapat tercapai," harap Elizabeth.

Ia pun berharap berbagai informasi edukatif tentang stunting dapat terus dilakukan, salah satunya dengan buku yang disusun oleh FIADIFA tersebut. "Saya sangat berterima kasih dan mengapresiasi FIADIFA yang menulis buku Cegah Stunting itu Penting sebagai penghargaan momentum Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional. Langkah ini menunjukan kepedulian ekspresi nyata maraknya stunting di tengah situasi pandemi," ujarnya.

Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Erna Mulati mengatakan, keluarga memiliki peran penting dalam menurunkan angka stunting atau kekerdilan. Ia mengungkapkan, 23 persen anak lahir dengan kondisi sudah stunted (perawakan pendek) akibat ibu hamil sejak masa remaja kurang gizi dan anemia.

Sementara, risiko stunting meningkat signifikan pada usia 6 hingga 23 bulan, dikarenakan kurangnya asupan protein hewani pada makanan pendamping ASI (MP-ASI), yang mulai diberikan sejak usia 6 bulan. "Peran keluarga mencegah stunting penting pakai banget. Keluarga menjadi pendukung utama mencegah anaknya menjadi stunting," kata Erna.

Hingga saat ini, pemerintah telah menyediakan berbagai layanan dan program kesehatan, terutama terkait dengan stunting, mulai dari usia sekolah dan remaja, calon pengantin dan pasangan usia subur, hingga pelayanan KIA. “Kami harap semua kelompok sasaran mendapat pelayanan secara lengkap, yang sesuai dengan program yang ada di Kemenkes dan diturunkan sampai ke tingkat puskesmas,” kata Erna.

Erna juga berharap, pemerintah daerah tingkat desa juga mendukung penurunan angka stunting dengan melakukan berbagai kegiatan berkaitan dengan pemenuhan nutrisi serta stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Ia menjelaskan, program penurunan angka stunting masuk di dalam sembilan upaya prioritas pembangunan nasional Indonesia.

Menurutnya, permasalahan stunting jika didiamkan akan menimbulkan banyak masalah kesehatan lainnya seperti peningkatan penyakit degeneratif di usia dewasa muda. Erna menambahkan, saat ini pihaknya selalu mengampanyekan pentingnya 1000 hari pertama kehidupan (HPK) guna menurunkan dan mencegah masalah malnutrisi atau stunting.

"1.000 HPK merupakan periode emas pertumbuhan anak, dimulai sejak dalam kandungan (270 hari) hingga anak berusia dua tahun (730 hari)," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement