Ahad 31 Jul 2022 16:23 WIB

Akademisi Harus Ikut Beri Solusi untuk UU Cipta Kerja

Saat ini UU Cipta Kerja masih menjadi sebuah problematika terutama di kalangan buruh.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Sosialisasi implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) kepada serikat pekerja untuk Serikat Pekerja Logam (SPL) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cimahi, akhir pekan ini.
Foto: Istimewa
Sosialisasi implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) kepada serikat pekerja untuk Serikat Pekerja Logam (SPL) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cimahi, akhir pekan ini.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Akademisi menjadi salah satu bagian untuk memberikan pemahaman sekaligus membantu mencarikan solusi untuk pelaksanaan UU Cipta Kerja.

Hal tersebut diungkapkan Ketua STIH Painan Dr. Muh Nasir, S.H., M.Hum dalam sosialisasi implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) kepada serikat pekerja untuk Serikat Pekerja Logam (SPL) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cimahi, akhir pekan ini.

“Saat ini UU Cipta Kerja masih menjadi sebuah problematika terutama di kalangan buruh, maka dari itu sosialisasi ini penting dilakukan untuk mengupas lebih lanjut, agar ada gambaran dan solusinya terutama dari kajian - kajian akademisi,” ujar Nasir.

Sosilisasi yang diikuti oleh buruh yang tergabung dalam FSPMI itu menghadirkan dua akademisi bidang hukum sekaligus Dosen STIH Painan, Dr. Sugeng Prayitno S.H, M.H. dan Dr. Junaedi S.H, M.H, M.Kn. M.Si.

Dr. Sugeng Prayitno S.H, M.H. memaparkan bahwa Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang merupakan salah satu sarana yang strategis dalam pelaksanaan hubungan industrial yang ada di sebuah perusahaan.

“Para pekerjapun sebelumnya harus memahami perbedaan hubungan kerja dengan hubungan industrial, di mana hubungan kerja itu privat, kontraktual dan subordinasi atau hubungan diperatas, sementara hubungan industrial itu publik, konseptual dan hubungan yang setara,” paparnya.

PKB, kata dia, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku artinya secara kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundang-undangan.

“Oleh karena itu pekerja harus paham betul apa aspirasi yang ingin disampaikan saat perundingan PKB yang dilakukan secara musyawarah antara serikat dengan pengusaha,” katanya.

Sugeng mengatakan, bahwa penting para pekerja untuk memahami UU Cipta Kerja, mengingat bahwa semua undang-undang itu sejajar bersama tidak semua yang dianggap buruk adalah buruk, baik adalah baik tergantung dari perspektifnya. 

Menurut Dr. Junaedi S.H, M.H, M.Kn. M.Si, PKB memang mestinya memiliki kepastian. Karena hal ini akan membuat pekerja menjadi bersemangat dalam bekerja, kemudian dapat meningkatkan produktifitas kerja sehingga mendorong perusahaan menjadi maju dan pekerja menjadi sejahtera.

“Melalui PKB, pekerja juga bisa bicara lebih luas dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya selama tidak bertentangan dengan perundang-undangan. PKB yang baik itu yang untung untuk pekerja dan untung untuk pengusaha, harus rasional baik untuk ke dua belah pihak, keadilan yang seimbang,” katanya.

Sementara menurut Ketua SPL FSPMI Cimahi Asep Supriatna, kegiatan ini dilakukan untuk memahami lebih lanjut terkait UU Cipta Kerja. “Kami dari SPL FSPMI konsisten menolak UU Cipta Kerja, namun kami juga merasa perlu untuk memahami duduk perkaranya, karena mau tidak mau dan meski kami menolak, tetap saja UU Cipta Kerja ini berlaku sehingga kami harus tahu seperti apa dan bagaimana pelaksanaanya,” katanya.

Dengan sosialisasi ini, kata Asep, peserta pun mengetahui bahwa tidak semua pasal jelek namun juga ada pasal yang berguna untuk pekerja dan buruh di Indonesia.

“Harapan kami mudah-mudahan undang-undang bisa kembali saja ke yang sebelumnya, kalaupun tetap berlaku, ya semoga ada yang bisa diperbaiki,” katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement