REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin menilai mafia tanah sudah berjejaring di lintas instansi. Menurutnya, mafia tanah ada di tubuh Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, pengadilan, kejaksaan, hingga kepolisian. Menurut Iwan, dalam dari keberadaan mafia tanah adalah orang atau pengusaha super kaya.
"Sebagian besar dalangnya adalah orang-orang atau pengusaha-pengusaha yang super kaya, dan ingin terus menumpuk asetnya di mana-mana," kata Iwan kepada wartawan, Jumat (29/7/2022).
Iwan menambahkan, dalang mafia tanah memiliki akses dekat dan jejaring penguasa. Sehingga bisa mendapat informasi tanah yang bisa diambil secara murah dan mudah. Iwan menuturkan, mereka menyulap aset tanah itu menjadi wilayah strategis dan premium.
"Jadi bila ada korban yang dirampas aset bangunan dan tanahnya karena keputusan pengadilan, bisa jadi memang itu korban mafia tanah," ujarnya.
Menurut Iwan, salah satu ciri mafia tanah saat ini, caranya seolah resmi. Mereka juga lewat jalur mendaftar ke pengadilan, diputus memenangkan perkara, kemudian menggunakan aparat baik satpol PP atau kepolisian untuk mengusir pemilik yang sah.
Sementara pemerintah yang berupaya memberi sertifikat ke rakyat kecil. Ia melihat ini justru jadi kontradiksi dan dilema sendiri. Sebab ujung-ujungnya mereka yang kaya dan memiliki jejaring dengan BPN, Pemda, pengadilan, dan kepolisian yang dengan mudahnya mengubah kepemilikan aset tanah dan bangunan milik masyarakat yang sudah memiliki sertifikat itu.
"Pat gulipat inilah yang kemudian memunculkan sertifikat baru, tanpa sepengetahuan pemilik lahan yang asli. Kemudian kalau didaftarkan ke pengadilan, dan mereka dimenangkan, dengan bantuan aparat pengusiran kepada rakyat sebagai pemilik sah dilakukan, inilah yang sering terjadi," paparnya.
Iwan menegaskan, upaya bersih-bersih lembaga seperti BPN itu sangat penting. Seperti yang sekarang sedang diupayakan Menteri ATR Hadi Tjahjanto, membuang oknum BPN yang terlibat dengan mafia tanah. Karena dari BPN inilah pendaftaran tanah yang pertama, kalau dari BPN-nya tidak bermain, tidak mungkin berani ke pengadilan apalagi ke kepolisian dan kejaksaan.
"BPN inilah hulunya, setelah dari BPN inilah kalau duplikasi itu terdaftar mereka berani ke bermain ke oknum pengadilan, kemudian ke kepolisian dan kejaksaan," tegasnya.
Sebelumnya beredar video di media sosial seorang ibu yang memiliki sertifikat aset rumah, tanah dan bangunan, namun ia harus terusir dan dicabut dari kepemilikan resmi aset tersebut. kasus ibu yang bernama FM Valentina Linawati ini berperkara dengan mantan suaminya yang kemudian meninggal dunia.
Namun dalam proses harta gono gini, tanah yang dimilikinya dan anaknya di wilayah Kota Malang telah dimenangkan oleh pihak lain. Karena proses lelang yang memenangkan pihak lain itulah, ia menyebut telah menjadi korban mafia tanah. "Sertifikat semua masih ada di tangan kami, mereka berdalih dengan lelang. Dan saya punya bukti siapa pemain lelang tersebut," tegas Valentina.
Sementara kuasa hukum mendiang suaminya dr Hardi, Lardi memastikan tak ada campur tangan mafia tanah dan kasus tersebut murni soal harta gono gini. "Sudah ada klarifikasi dari PN Malang, Kepolisian (Polresta Malang Kota) hingga Kementerian ATR/BPN yang sudah menyatakan bahwa kasus yang diunggah di medsos bukan kasus mafia, tapi murni masalah harta gono gini," ujar Lardi.
Panitera PN Malang, Rudi Hartono menyampaikan bahwa dua objek rumah itu merupakan harta gono-gini mendiang dr Hardi Soetanto dan mantan istrinya, Valentina Linawati. Berdasarkan keputusan PN Tuban No 25/2013, harta mereka harus dilelang agar bisa dibagi dua.
Humas PN Malang, hakim Djuanto, juga menepis tudingan dokter bersuadara anak dari ibu Valentina Linawati tersebut, yang bernama Gladys Adipranoto, dan Gina Gratiana. Padahal PN Malang menjalankan lelang berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang sudah inkrah.
"Klaim mafia tanah dari Gina dan Gladys ini ya monggo silahkan. Tapi selama ini kami menjalankan lelang yang kemarin itu berdasarkan putusan dari MA dimana barang yang terlelang ini oleh karena barang diperoleh pada masa perkawinan Hardi dan Valentin maka barang tersebut harusnya dibagi dua,” kata Djuanto.