REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah kalangan meminta penyelenggara kebijakan agar dalam menyusun rancangan peraturan daerah (ranperda) harus melibatkan partisipasi publik. Adapun tujuannya agar aturan itu bisa diterima oleh banyak kalangan, apalagi jika aturan yang dibuat terkait dengan ekonomi banyak orang.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Jakarta, Trubus Rahardiansah mengatakan apabila sebuah regulasi itu rendah partisipasi publiknya maka berpotensi menimbulkan keresahan dan penolakan.
"Akan muncul gugatan gugatan karena publik itu tidak puas, misalnya akan memberi dampak terhadapnya secara ekonomi dan sosial," ujarnya, Rabu (27/7/2022).
Dia menegaskan, jangan sampai pemerintah blunder seperti yang terjadi dalam kasus UU Cipta Kerja yang berujung pada konstitusional bersyarat. "Itu karena rendahnya partisipasi publik. Jangan sampai itu juga terjadi aturan aturan lainnya, digugat, karena banyak sekali kepentingan ekonominya di sini," ucapnya.
Sementara itu Anggota DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono menambahkan aturan itu harus dibuat jangka panjang, bukan hanya kepentingan satu dua tahun saja. Tetapi 15 hingga 12 tahun, perda yang dihasilkan harus berkualitas karena itu harus transparan.
"Karena itu jangan cepat pembahasannya, dengarkan dulu masukan publik, karena ini (ranperda) untuk jangka panjang, bukan untuk sebentar saja," ucapnya.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengaku pihaknya tidak dilibatkan dalam penyusunan Ranperda padahal petani selaku produsennya hulu merupakan pihak yang terdampak langsung dari kebijakan tersebut.
"Kami tidak dilibatkan, justru baru tahunya dari medsos, padahal mestinya partisipasi kami juta dipertimbangkan,"ucap Hananto.
Ketua Divisi Advokasi dan Pendidikan Konsumen Pakta Konsumen Ary Fatanen berharap agar penyusunan Ranperda dapat melibatkan perwakilan konsumen. "Sebab jangan sampai ada pasal pasal selundupan yang mengebiri hak konsumen," pungkasnya.