REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG—Ketua Asosiasi Bengkel Kendaraan Indonesia (Asbekindo) Jawa Barat A Yayat Ruhiyat menjelaskan, uji emisi dan KIR sangat direkomendasikan untuk dilakukan setiap satu tahun sekali, atau setiap 10.000 kilometer daya tempuh kendaraan.
“Idealnya setiap 10.000 km pasti akan berubah, yang sekarang emisinya bagus nanti pasti berubah. Itu sesuai perwal itu minimal 1 tahun. Minimal setahun sekali,” kata Yayat saat ditemui di Balai Kota Bandung, Rabu (27/7/2022).
Uji emisi, kata dia perlu dilakukan jika kendaraan telah melewati ambang batas emisi, CO lebih dari 1,5 persen. Hal ini juga akan mengakibatkan pencemaran udara dan berujung pada penurunan kesehatan lingkungan, kata dia.
“Misal CO ditentukan harus 1½ tapi kenyataan mobil itu 2-3% itu yang pertama emisi jadi jelek, CO dan HC akan rusak lingkungan. Kesehatan yang utama ya,” jelasnya.
“Yang kedua mobil akan lebih boros,ketiga komponen cepat rusak dari mobil. Yang keempat tenaga mobil akan berkurang jadi banyak rugi kalau tidak uji emisi,” sambungnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian dan Pencemaran Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung Fiziarita mengatakan, Uji Emisi Gratis yang sejak Rabu (27/7/2022) pagi tadi dibuka di area parkir Balai Kota Bandung, telah memeriksa ratusan kendaraan, mulai dari kendaraan dinas ASN hingga kendaraan warga umum. Terlepas dari target 600 kendaraan dalam pengujian emisi yang akan berlangsung selama dua hari ini, Pemkot Bandung berharap kendaraan roda empat di Kota Bandung dapat seluruhnya lolos uji emisi.
“Target uji emisi kata pak wali seluruh kota bandung, sebanyak mungkin. Sejauh ini sudah banyak yang kita uji, dan mayoritas lolos uji,” ujarnya.
Menurutnya, jika merujuk pada Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), kondisi udara Kota Bandung masih tergolong aman. “Sejauh ini hasil pantauan kita kondisinya baik. Punya indeks udara kota bandung itu bagus. Kalau ISPU masih menyatakan baik untuk kesehatan manusia, tumbuhan da hewan, sedang,” pungkasnya.
Sementara itu, dalam Jurnal Teknik Lingkungan berjudul Faktor Persepsi Kualitas Udara di Kota Bandung karya Tizan M.K Bijaksana dkk (2021) yang diterbitkan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota Bandung, mengutip penemuan Pratama dan Sofyan (2020) bahwa sumbangan emisi PM10 terbesar bersumber dari kendaraan bermotor dan partikulatnya terkonsentrasi di ruas-ruas jalan utama seperti Tol Padaleunyi, jalan Soekarno-Hatta (bypass), jalan Setiabudhi, dan jalan Ahmad Yani.
“Topografi dan dinamika angin dapat menyebabkan polutan tersebar hingga ke luar Kota Bandung ataupun malah terkonsentrasi (tidak terdispersi),” terang penelitian itu yang dikutip Republika, Rabu (27/7/2022).
Hasil estimasi model International Vehicle Emissions (IVE) menunjukkan bahwa emisi total kendaraan bermotor di Kota Bandung paling dominan berasal dari 94,48 persen setara 5.286.612,81 ton/tahun CO2, 4,55 persen setara 25434.378,9 ton/tahun CO, dan 0,63 persen setara 35.501,65 ton/tahun NOx (Dewanto dkk. 2021).
Berbeda dengan monitoring polutan yang pada umumnya menggunakan ukuran pencemaran udara ambien dan emisi, Zannaria dkk (2009) menggunakan teknologi reseptor Hi Flow Personal Sampler Pump Gilian HFS-513A yang dipasang pada sejumlah penduduk Kota Bandung dan menemukan bahwa konsentrasi partikulat terespirasi PM2,5 yang tinggi ditemukan pada penduduk yang tinggal dekat lokasi kegiatan industri atau intensif terpapar dengan kendaraan bermotor.