Rabu 27 Jul 2022 15:55 WIB

Sukarno-Natsir, Parkindo-Masyumi-Soekiman: Hari-hari indah Persatuan Nasional

Kisah Sekjen Masyumi yang legendaris

Dr. Soekiman Wirjosandjojo
Foto:

Bagaimana Dengan Natsir?

Membicarakan Soekiman, tentu tidak lengkap jika tidak menyinggung M. Natsir, Ketua Umum Masyumi sesudah Soekiman. Jika Soekiman surplus dukungan dari berbagai kekuatan politik, Natsir justru surplus dukungan dari kekuatan politik utama Tanah Air, yaitu Presiden Soekarno.

Ketika ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjadi formatur kabinet, Natsir berpendapat jika ingin kuat, kabinetnya harus didukung oleh Masyumi dan PNI. Saat Natsir sulit mendapat dukungan PNI, dia menganggap tugasnya sudah gagal. Karena itu dia menghadap Presiden Soekarno untuk mengembalikan mandat.  

Dua kali Natsir menghadap Presiden, dua kali pula Presiden menolak pengembalian mandate : “terus saja,” kata Bung Karno. “Tanpa PNI?” tanya Natsir. “Ya, tanpa PNI,” jawab Presiden tegas. Itulah untuk pertama kalinya Bung Karno meninggalkan PNI yang didirikannya pada 1927.

Kepada juru bicara Masyumi, Anwar Harjono, Natsir mengeluh : “apa dosa saya kepada PNI, hingga mereka tidak mau mendukung saya?”

Keluhan yang wajar, karena dibujuk dan diyakinkan oleh Presiden Soekarnopun, PNI dan partai-partai lain tetap tidak mau mendukung Natsir. Keluhan Natsir adalah misteri sejarah yang suatu saat harus dikenang untuk diambil pelajaran darinya.

Terbitnya buku ini melengkapi dua karya saya sebelumnya tentang M. Natsir dan Prawoto Mangkusasmito. 

Dengan buku ini, tuntaslah “tugas” saya menulis dan menyunting biografi tiga Ketua Umum Masyumi – Partai Poiltik yang hanya berusia 15 tahun, yang keharumannya melampaui usianya.

Insya Allah buku ini bermanfaat untuk menjadi modal mewujudkan sila “Persatuan Indonesia.”

 

Cicurug, pada HUT ke-65

23 Juli 2022

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement