Rabu 20 Jul 2022 05:51 WIB

Kebijakan Moderasi Konten Perlu Dukungan Revisi Permenkominfo Nomor 5

Permenkominfo Nomor 5 perlu direvisi karena sisakan ketidakjelasan akuntabilitas

Warga menunjukan sejumlah aplikasi media sosial di Jakarta, Senin (18/7/2022).Kebijakan moderasi konten perlu dukungan revisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 karena regulasi ini tidak membahas mengenai akuntabilitas.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Warga menunjukan sejumlah aplikasi media sosial di Jakarta, Senin (18/7/2022).Kebijakan moderasi konten perlu dukungan revisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 karena regulasi ini tidak membahas mengenai akuntabilitas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan moderasi konten perlu dukungan revisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 karena regulasi ini tidak membahas mengenai akuntabilitas.

“Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020 perlu direvisi karena masih menyisakan ketidakjelasan mengenai mekanisme akuntabilitas. Akibatnya, muncul risiko moderasi konten yang berlebihan yang tentu saja mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat,” ujar Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan.

Selain belum membahas akuntabilitas, regulasi ini juga secara eksplisit membatasi interpretasi moderasi konten sebagai penghapusan konten saja. Padahal, membatasi konsepsi regulasi moderasi konten sebagai penghapusan konten adalah sesuatu yang problematik.

Selain itu, juga terdapat potensi pemusatan kekuatan pada pemerintah dengan adanya ketentuan mengenai wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam hal pemutusan akses terhadap konten-konten digital. Permohonan pemutusan akses sebagaimana yang tertuang dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 hanya meninggalkan dua pilihan ekstrem, yaitu menghapus atau membiarkan konten yang dilaporkan.

Sementara menghapus konten dapat melanggar kebebasan berpendapat, membiarkan konten dapat membuat Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) menerima sanksi dari Kemenkominfo. Membatasi tindakan hanya sebatas pada hapus-atau-biarkan (delete-or-keep) adalah pendekatan yang terbilang dangkal.

“Moderasi konten tidak melulu penghapusan konten karena dalam praktiknya, melakukan moderasi konten tidaklah mudah,” urai Pingkan, dengan menambahkan terjadinya hal ini karena faktor jumlah konten dan kecepatan yang ada masih belum diimbangi dengan kapasitas dari content moderators selaku pihak-pihak yang melakukan monitor dan memoderasi konten-konten yang diunggah oleh pengguna di ragam platform.

Di satu sisi, moderasi konten yang lemah berisiko mengakibatkan beredarnya materi-materi berbahaya. Tetapi moderasi konten secara besar-besaran justru dapat berujung pada penyensoran yang berlebihan oleh platform akibat mandat yang diberikan oleh pemerintah melalui peraturan seperti Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 beserta dengan revisinya yaitu Permenkominfo nomor 10 tahun 2021.

Jika kita berkaca pada praktik-praktik global, platform-platform user generated content (UGC) seperti Twitter, Facebook dan YouTube menggunakan serangkaian pilihan yang lebih beragam, seperti menurunkan peringkat (downranking), demonetisasi, menandai konten dengan keterangan penjelas, membatasi akses dengan tolak ukur usia dan memberikan peringatan kepada pengguna tentang unggahan-unggahan yang berpotensi sensitif dan berbahaya.

Langkah-langkah yang ditempuh oleh platform UGC tersebut dapat memitigasi risiko platform mengambil salah satu dari dua tindakan ekstrem yang sudah disebutkan di awal.

“Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 hampir secara eksplisit membatasi moderasi konten hanya sebagai penghapusan konten dari platform. Moderasi konten sepatutnya dipahami secara lebih luas sebagai tindakan yang membatasi penyebaran konten dan langkah-langkah yang bersifat mitigasi seperti yang dicontohkan di atas,” terang Pingkan.

Ketika moderasi konten hanya dibatasi sebagai penghapusan konten, baik Kemenkominfo maupun PSE memiliki risiko yang lebih besar untuk melanggar kebebasan berekspresi masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement