Senin 18 Jul 2022 02:57 WIB

Pelecehan Seksual di Transportasi Umum Masih Marak, Pakar: Belum Ada Efek Jera

Terjadi dua peristiwa dugaan pelecehan seksual di KRL pada pekan kemarin.

Rep: Ali Mansur/ Red: Agus raharjo
Petugas KAI Commuter memegang poster saat melakukan kampanye cegah tindak kekerasan dan pelecehan seksual di dalam gerbong KRL, Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Rabu (29/6/2022). KAI Commuter mengadakan kegiatan tersebut bertujuan untuk menggugah kesadaran masyarakat agar tidak melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual di transportasi umum, khususnya KRL.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Petugas KAI Commuter memegang poster saat melakukan kampanye cegah tindak kekerasan dan pelecehan seksual di dalam gerbong KRL, Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Rabu (29/6/2022). KAI Commuter mengadakan kegiatan tersebut bertujuan untuk menggugah kesadaran masyarakat agar tidak melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual di transportasi umum, khususnya KRL.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus pelecehan seksual di transportasi umum, khusus kereta rel listrik (KRL) masih marak terjadi. Padahal pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI telah melakukan blacklist terhadap penumpang yang melakukan pelecehan seksual selama dalam perjalanan kereta api menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Dalam tiga hari terakhir telah terjadi dua kasus dugaan pelecehan seksual. Pada Kamis (14/7/2022), sekitar pukul 16.10 WIB telah terjadi dugaan tindak pelecehan di dalam di KRL Nomor 4264 relasi Jakarta Kota-Bogor. Kemudian dugaan pelecehan seksual juga terjadi KRL lintas Stasiun Duri-Stasiun Jatinegara pada Jumat (15/7/2022) sore.

Baca Juga

Menanggapi dua kejadian memalukan itu, pengamat transportasi publik Azas Tigor Nainggolan menilai belum ada efek jera. Sehingga meski sudah ada kebijakan blacklist dari pihak berwenang, pelaku pelecehan seksual masih berani melakukan aksinya. Karena itu, kata Tigor, harus dibarengi dengan penegakkan hukum yang tegas.

“Maraknya kejadian pelecehan seksual di transportasi publik sudah sangat menakutkan. Situasi ini menunjukan bahwa belum ada efek jera dari para pelaku karena tidak ada penegakan yang tegas dan konsisten oleh aparat keamanan,” ujar Tigor saat dihubungi, Ahad (17/7).

Tigor menambahkan, sudah saatnya pemerintah dan para operator transportasi publik membuat sebuah sistem keamanan. Hal itu agar layanannya aman, nyaman dan bebas dari aksi pelecehan seksual terhadap anak dan dewasa rentan.

Selain itu, pengelola KRL juga harus membantu korban dengan melaporkan pelaku ke pihak polisi untuk dilakukan proses hukum. Kemudian untuk adanya informasi dari media massa atau media sosial, pihak kepolisian bisa menggunakannya sebagai informasi awal untuk melakukan penyelidikan.

“Langkah polisi bisa meminta keterangan dari petugas stasiun Pasar Minggu yang menangani serta menjadikan video yang viral sebagai bukti awal,” tegas Tigor.

Sebagai langkah pencegahan agar tidak lagi terjadi pelecehan seksual di transportasi publik, kata Tigor, pengelola transportasi publik dan kepolisian serta aparat hukum lainnya bekerja sama melakukan perlindungan dan penegakan hukum secara tegas. Menurut Tigor, penegakan diperlukan sebagai langkah pendidikan publik dan efek jera.

“Guna mencegah terjadinya kembali dan membangun perlindungan bagi pengguna transportasi publik,” tegas Tigor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement