REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Pembeli minyak goreng curah seharga Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram masih dominan menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) daripada menggunakan aplikasi di telepon seluler saat berbelanja di pasar tradisional Makassar, Sulawesi Selatan.
"Masih lebih banyak gunakan fotokopi NIK/KTP, karena banyak pembeli tidak bawa smartphone atau tidak tahu operasikan aplikasi. Untuk satu KTP dibatasi maksimal beli 10 kg saja per hari," kata Buntong, salah seorang pedagang minyak goreng curah di Pasar Terong, Makassar, Kamis (7/7/2022).
Menurut pemilik Toko Dewi Sumatera ini, pembeli yang umumnya ibu rumah tangga dan pedagang gorengan atau UMKM hanya menggunakan hp jadul atau bukan Android. Karena itu mereka tidak bisa mengunduh aplikasi yang menjadi kebijakan pemerintah. Kondisi itu ditoleransi dengan menggunakan fotokopi KTP atau Kartu Keluarga saja.
Selanjutnya, toko yang terdaftar menjual minyak goreng curah dan terpantau oleh Dinas Perdagangan setempat yang memasukkan data NIK pembeli itu ke aplikasi. Hal itu diakui salah seorang pembeli, Hasnah, yang sehari-hari menjual gorengan di depan Masjid Al Markaz Al Islamy, Makassar. Dia mengatakan untuk dua kios gorengannya rata-rata membutuhkan minyak goreng 10 kg per hari, sehingga setiap hari harus datang membeli.
"Sebenarnya sepanjang masih bisa gunakan fotokopi KTP saja, itu tidak masalah. Namun kalau nanti semua harus pakai aplikasi untuk beli minyak goreng, pasti akan merepotkan kami yang belum tentu punya dan tahu menggunakan handphone," katanya.
Hal itu diakui Kepala Pasar Terong, Darwis. Menurutnya pemilik toko sudah bisa beradaptasi dengan jual beli minyak goreng sistem aplikasi. Namun pedagang yang hanya berjualan di lapak-lapak atau kios rata-rata belum memiliki dan belum tahu menggunakan smartphone. Menurut dia, selain kendala dari penjual, pembeli pun yang ke pasar tradisional belum tentu memiliki smartphone. Karena itu, mungkin masih membutuhkan waktu untuk adaptasi lapangan.