REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kepegawaian Negara (BKN) kembali melontarkan wacana penerapan sistem work from anywhere (WFA) bagi ASN. Di sisi lain, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) Tjahjo Kumolo sudah menyatakan tak setuju dengan sistem kerja dari mana saja itu.
Plt Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, WFA sangat mungkin diterapkan dalam birokrasi pemerintahan. Wacana WFA ini muncul karena berjalan baiknya praktik work from home (WFH) selama pandemi Covid-19.
Menurut Bima, setidaknya ada dua alasan mengapa WFA bisa diterapkan. Pertama, era teknologi internet saat ini telah membuat segalanya semakin terhubung satu sama lain.
Apalagi, ketika pandemi Covid-19 melanda, instansi pemerintah sudah membangun aplikasi layanan kepada publik, yang memungkinkan ASN bekerja dengan sistem WFH. Skema WFH, kata dia, terbukti tak hanya berdampak positif pada pelayanan publik, tapi juga pada produktivitas ASN.
“Banyak studi menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas sebesar 47 persen ketika karyawan melakukan WFH,” kata Bima sebagaimana dikutip dari laman resmi BKN, Senin (27/6/2022).
Kedua, sumber daya manusia di instansi pemerintah yang semakin berkompeten. Sumber daya ASN yang melek teknologi akan semakin bertambah ke depan lantaran akan terjadi fase bonus demografi pada 2030.
"Bonus demografi akan melahirkan generasi milenial dan generasi Z yang fasih dengan teknologi,” ujarnya.
Bima menambahkan, untuk mewujudkan WFA, seorang pegawai harus memahami output atau target kinerja harian yang dilakukan setiap harinya. Di sisi lain, kata dia, pemerintah juga dapat mengupayakan terciptanya WFA melalui regulasi. Antara lain dengan mempercepat penerapan Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia, mempercepat penerapan Perpres 95/2019 tentang SPBE, termasuk pemenuhan infrastruktur dasar teknologi informasi, serta mempercepat proses RUU perlindungan data pribadi.
Sebelumnya, Menpan-RB Tjahjo Kumolo mengaku tak setuju dengan penerapan sistem WFA. Baginya, dengan sistem itu, pengawasan kinerja ASN sulit dilakukan.
"(Sulit) memonitor/mengawasi ASN yang jumlahnya 4 juta-an. Kalau mengawasi eselon I dan II saja mungkin bisa," ujarnya kepada Republika, Kamis (19/5) lalu.