Sabtu 25 Jun 2022 05:48 WIB

Pencalonan Pilpres 2024 Berdasarkan Suara Pileg 2019 tidak Logis!

Presiden terpilih Pilpres 2024, menjadi 'magnet' bagi semua kekuatan politik.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora Fahri Hamzah sekaligus Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora Fahri Hamzah sekaligus Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora Fahri Hamzah menyatakan, generasi reformasi masih bersemangat untuk mengembalikan semua prosedur demokrasi kepada jalur yang benar. Hal itu terkait dengan persoalan syarat Pileg dan Pilpres 2024 yang menggunakan hasil Pemilu 2019, kini didugat (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Adalah hal yang tak masuk akal ketika hasil proses demokrasi dalam Pileg 2024, justru tidak bisa mencalonkan presiden dalam Pilpres 2024. Yang mencerminkan demokrasi sejati, adalah ketika presiden periode 2024-2029 mendapatkan dukungan suara faktual dari hasil Pileg 2024," ujar Fahri dalam webinar Moya Institute bertajuk 'Pemisahan Pilpres Dengan Pileg: Tinjauan Strategis' di Jakarta, Jumat (24/6/2022).

Baca: Survei Poltracking: UAS Pendakwah Paling Disukai di Indonesia

Selain itu, Fahri menyoroti, jeda waktu yang cukup panjang dari pengumuman hasil pilpres yang diadakan pada 14 Februari 2024, hingga pelantikan RI 1 pada 20 Oktober 2024 bisa membuyarkan konsentrasi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Adanya delapan bulan jeda waktu  pelantikan presiden terpilih, menurut Fahri, bisa memunculkan 'dualisme' kepemimpinan nasional

"Presiden terpilih dari Pilpres 2024, akan menjadi 'magnet' bagi semua kekuatan politik. Sedangkan presiden petahana akan 'makan hati' selama delapan bulan. Sebaiknya, kita berikan kesempatan yang baik dan penuh bagi Presiden Jokowi untuk bekerja sampai masa jabatannya berakhir secara berwibawa," ujar mantan wakil ketua DPR itu.

Baca: Warganet Kaitkan Kasus Hollywings yang Lecehkan Nama Muhammad dengan Arswendo

Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas mengatakan, Presiden Jokowi cenderung tidak bisa bekerja sama dengan presiden terpilih 2022. Dia memberi contoh periode transisi presidensial pada akhir masa kepresidenan di Amerika Serikat, yaitu Herbert Hoover sebelum dimulainya pemerintahan Franklin D Roosevelt .

"Setelah pemilihan, Roosevelt menolak permintaan Hoover untuk pertemuan demi menghasilkan program bersama untuk menghentikan krisis ekonomi. Hal itu membuat krisis ekonomi makin parah," ujar Sirojudin.

Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan, ada jarak waktu yang jauh antara terpilihnya presiden baru dengan pelantikan jadwal pelantikan. Kondisi itu diperkirakan dapat  berdampak pada efektivitas jalannya pemerintahan Presiden Jokowi. Dia menganggap, hal itu bisa memunculkan berbagai persoalan baru.

Hery menyampaikan, hasil Pilpres dan Pileg 2024 bakal membuat siapa pun peserta kontestasi, baik partai politik maupun politisi, akan sibuk mengamankan keberlangsungan jejak politik mereka. "Terbuka juga peluang bahwa hasil pileg akan memunculkan situasi riil yang berbeda dari konstelasi politik yang terbentuk pra-Pemilu 2024," ucap Hery.

Baca: Bertemu Pimpinan DPR, Anggota KPU dan Bawaslu Diminta Bekerja Profesional

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement