REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menanggapi hasil monitoring kualitas udara oleh lembaga IQ Air yang menyebutkan bahwa Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di antara kota-kota besar di dunia. Menurut dia, tiap lembaga swasta maupun pemerintah memiliki metode analisa dan pengukuran kualitas udara yang berbeda-beda.
Karena itu, ia pun kemudian mempertanyakan metode yang digunakan oleh lembaga data kualitas udara IQ Air dalam mengukur kualitas udara di Jakarta. “Itu kan hasil monitoring analisis pakai metode tertentu dari swasta, ada instrumen yang dia pakai, saya tidak bermaksud membela diri, tetapi kita lihat dari metode yang biasa dipakai,” kata Siti di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip pada Selasa (21/6).
Menurut Siti, kualitas udara di Jakarta tidak seburuk dari hasil monitoring lembaga IQ Air. Namun bagi Siti, yang terpenting adalah tindak lanjut dari pengukuran kualitas udara tersebut.
“Nanti saya kasih data analisnya. Bahwa pada saat yang sama, DKI bukan yang sekian itu, nomor 44. Jadi sebetulnya buat saya itu hanya ukuran dan indikator dan kita paling penting adalah kita lihat metodenya apa sih yang dipakai. Selain itu apa tindaklanjutnya. Itu yang paling penting,” jelas dia.
Lembaga IQ Air menempatkan Jakarta sebagai kota paling berpolusi di Indonesia dengan indeks kualitas udara menduduki angka 193 pada Senin (20/6) pagi. Dilansir laman resmi IQ Air di Jakarta, kualitas udara ibu kota masuk kategori tidak sehat karena konsentrasi PM2.5 saat ini 27,4 kali dari nilai pedoman kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Konsentrasi PM2.5 di Jakarta berada pada angka 136,9 gram per meter kubik. PM2.5 mengacu pada materi mikroskopis tertentu dengan diameter 2,5 mikrometer atau kurang, dengan berbagai efek merugikan pada kesehatan manusia dan lingkungan.
Sementara berdasarkan analisa BMKG, konsentrasi PM2.5 yang tinggi di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi baik yang berasal dari sumber lokal. Seperti transportasi dan residensial maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta.
Selain itu, proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi oleh pola angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Angin yang membawa PM2.5 dari sumber emisi dapat bergerak menuju lokasi lain sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi PM2.5.
Faktor lainnya yang mempengaruhi peningkatan PM2.5 bersumber dari tingginya kelembapan udara yang menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel. Proses ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi PM2.5 yang difasilitasi oleh kadar air di udara.
IQ Air menyarankan masyarakat untuk menggunakan masker saat berada di luar ruangan, menutup jendela untuk menghindari udara luar yang kotor masuk ke dalam rumah, menggunakan pembersih udara, dan hindari olahraga di luar ruangan.
Secara global, kualitas udara di Jakarta pada Senin pagi menduduki peringkat terburuk di atas Kota Santiago di Chile yang memiliki indeks 175 dan Johannesburg di Afrika Selatan dengan indeks 158. Selain itu, IQ Air juga menempatkan Kelurahan Sedingin di Riau sebagai daerah dengan kualitas udara paling bersih di Indonesia karena hanya memiliki indeks delapan.