REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, memastikan dua pabrik tahu yang menggunakan formalin di Desa Waru dan Desa Waru Kaum, Kecamatan Parung, tak mengantongi izin. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menutup paksa dua pabrik tahu tersebut.
"Untuk bangunan tidak memiliki izin, ini akan dilaporkan ke bupati karena berbahaya untuk masyarakat," ungkap Kepala DPMPTSP Kabupaten Bogor Dace Supriadi saat mendampingi Kepala BPOM RI Penny K Lukito serta pejabat perwakilan dari Polda Jawa Barat di pabrik tahu yang berlokasi di Desa Waru Kaum, Jumat (10/6/2022).
Menurutnya, selain tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB), dua pabrik dengan kapasitas produksi 120 juta tahu per bulan itu juga belum memiliki izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dari Dinas Kesehatan setempat. Dace menyebutkan keduanya hanya memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang digunakan untuk keperluan distribusi produk ke berbagai pasar di beberapa daerah.
"Produksi tahu ini berdasarkan data di dinas yang bersangkutan memiliki surat izin perdagangan sejak 9 Maret 2019," kata Dace.
Ia bersama instansi lain akan berkoordinasi untuk melakukan penyegelan terhadap dua pabrik tahu tersebut pada Senin, 13 Juni 2022, meski sejak Sabtu siang aktivitas produksi tahu sudah dihentikan paksa oleh BPOM.
Sebelumnya, Kepala BPOM RI Penny K Lukito menyebutkan bahwa pihaknya mendapati 38 kilogram formalin jenis serbuk dan 60 kilogram formalin jenis cair dari dua pabrik tahu yang berlokasi di Kecamatan Parung, Bogor. Menurutnya, BPOM bersama Kepolisian juga menyita sekitar 1.500 tahu yang siap didistribusikan ke tiga pasar di berbagai daerah, yakni Pasar Ciputat, Pasar Parung, dan Pasar Jembatan Dua Jakarta.
Penny menyebutkan, sebagai sanksi awal, kedua pabrik tersebut ditutup sehingga tidak ada aktivitas produksi tahu. Kemudian, kedua pemiliknya yang berinisial S (35) dan N (45) segera ditetapkan sebagai tersangka.
"Berdasarkan Undang-undang pangan, sanksinya lima tahun penjara atau denda Rp 10 miliar, karena ini menggunakan bahan berbahaya untuk pangan," kata Penny.