REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A
Kekecewaan jelas nyata di wajah pekerja honorer Andi Melyani Taher (36 tahun). Ia sedang berada di kantornya di Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, pada awal Juni, ketika menerima pesan singkat berisikan kabar penghapusan tenaga honorer itu. Sebagai pekerja honorer yang sudah mengabdi selama 17 tahun, terang saja Melyani kaget dan panik.
Melyani segera menyampaikan kabar buruk itu kepada 31 tenaga honorer lainnya di kantor tersebut. Kepanikan pun menyebar. Pikiran mereka seketika buyar.
"Kaget kita semua, wah gimana ini. Kita yang sudah lama-lama jadi honorer, nasibnya bagaimana. Kita sudah tua-tua, ada yang sudah 40 tahun ke atas, mau cari kerja lain bagaimana caranya," kata Melyani menceritakan suasana ketika itu ketika dihubungi Republika dari Jakarta, Kamis (9/6/2022).
"Ketika kita terima surat edaran dari Menpan RB itu, kita berpikir, 'aduh kok ini Menpan tidak punya hati ya'," imbuh perempuan yang tugasnya mengawasi hutan itu.
Surat edaran yang dimaksudkan Melyani adalah surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi (Menpan RB) No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam surat itu, Menpan RB Tjahjo Kumolo meminta Pejabat Pembina Kepegawaian di setiap instansi pemerintah untuk menentukan status pegawai honorer hingga batas waktu 28 November 2023. Sebab, keberadaan tenaga honorer akan dihapus pada batas waktu tersebut.
Melyani mengaku sangat kecewa dengan keputusan Tjahjo itu. Sebab, kata dia, Menpan RB sebelumnya, Yuddy Krisnandi (2014-2016) menyatakan bahwa semua tenaga honorer akan diangkat menjadi PNS. Pernyataan Yuddy itu lah yang membuat Melyani rela bertahan sebagai honorer meski digaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).
Kini, ancaman bakal menjadi pengangguran setelah November 2023, kerap melintas di pikiran Melyani. Dia bingung bagaimana caranya nanti menafkahi keluarga dan membayar cicilan. Karena itu, Melyani berharap betul bisa diangkat menjadi ASN sebelum hari penghapusan itu tiba.
Sedang Tri Julianto (41), pekerja honorer di kantor dinas di sebuah kabupaten di Kalimantan Tengah, menyampaikan keresahan dan harapan serupa dengan Melyani. Jika memang honorer dihapus tahun depan, kata dia, setidaknya pemerintah mengangkat terlebih dahulu tenaga honorer sebagai bentuk penghargaan.
"Kita sudah korbankan masa muda kita untuk menjadi honorer tanpa ada jenjang karier selama belasan tahun. Masa iya semua itu menguap begitu saja tanpa ada penghargaan," kata Tri yang sudah menjadi honorer selama 18 tahun.
Setidaknya, kata Tri, pemerintah mengangkat semua Tenaga Honorer Kategori II (THK-II) seperti dirinya dan Melyani untuk menjadi ASN. THK-II adalah pegawai yang direkrut menjadi tenaga honorer sebelum atau paling lambat tahun 2005.
Berdasarkan data Kemenpan RB per Juni 2021, tercatat ada 410.010 THK-II. Sebanyak 123.502 orang di antaranya merupakan tenaga pendidik, 4.782 tenaga kesehatan, 2.333 tenaga penyuluh, dan sisanya 279.393 tenaga administrasi.
"Kita yang THK-II ini kan sudah ada di database Badan Kepegawaian Nasional sejak tahun 2014, harapannya ya diangkat menjadi ASN. Pengangkatan itu sebagai penghargaan karena kita sudah mengabdi belasan tahun," ujarnya.
Tri berharap THK-II diangkat menjadi ASN dengan status PNS. Tapi, kalau memang tidak bisa, dia tak keberatan jika diangkat menjadi ASN berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hanya saja, Tri ingin pengangkatan itu tanpa tes.
"Pengabdian kita selama belasan tahun itu merupakan tes. Perusahaan swasta saja, pekerjanya yang beberapa tahun kerja langsung diangkat menjadi karyawan tetap," katanya.
Di sisi lain, Tri menolak rencana Menpan RB Tjahjo mengubah status pekerja honorer menjadi pekerja alih daya (outsourcing). Sebab, skema outsourcing melibatkan pihak ketiga sehingga pekerja sangat rentan dipecat sepihak.
Menpan RB Tjahjo menyatakan, dengan menjadi pekerja outsourcing, para pegawai akan mendapat gaji layak sesuai UMP. Adapun gaji Tri sebagai pekerja honorer per bulan rata-rata sekitar Rp 2,2 juta. Sedangkan UMP Kalimantan Tengah 2022 senilai Rp 2,9 juta.
Meski begitu, Tri tetap tak setuju dijadikan pekerja outsourcing. Dia lebih memilih menjadi PPPK karena gaji dan tunjangannya lebih besar dibanding UMP. "Meski gaji naik ketika menjadi outsourcing, saya tetap tidak setuju. Janganlah pengabdian kita selama ini dianggap tidak ada," ucapnya.