Kamis 19 May 2022 18:57 WIB

Pasal Larangan Kepala Daerah Mutasi Pejabat Sebelum Penetapan Paslon Digugat

Mutasi jelang akhir masa jabatan kepala daerah diduga bermotif pilkada.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi anggota Arief Hidayat (kirI) dan Manahan MP Sitompul memimpin jalannya sidang perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara di kantor MK, Jakarta, Selasa (5/4/2022). (Ilustrasi)
Foto:

Pemohon menilai, jika ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada dimaknai tidak berlaku atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023, maka menimbulkan adanya perbedaan kedudukan antara warga negara di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sesuai ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Pemohon menerangkan, rotasi atau mutasi pejabat yang dilakukan saat menjelang akhir masa jabatan kepala daerah patut diduga mempunyai agenda untuk menempatkan para pegawai yang mempunyai kedekatan khusus dengan kepala daerah tersebut. Agenda ini berkaitan dengan tujuan mempersiapkan dirinya mencalonkan kembali menjadi kepala daerah pada pilkada serentak 2024.

Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mempertanyakan kedudukan hukum Perkumpulan Maha Bidik Indonesia selaku pemohon. Akta pendirian pengurus perkumpulan ini disahkan untuk periode 2019-2021 yang berlaku selama dua tahun.

"Jadi sejak 2019 yang mestinya 2021 sudah ada pengantian kepengurusan. Ini sudah lampau. Coba nanti dilihat lagi dokumen apakah ada dokumen baru atau tidak mengenai kepengurusannya," kata dia.

Wahiduddin juga menyarankan pemohon untuk memperbaiki argumentasi pemohon dengan mengkonstruksikan kembali uraian dalam posita dan petitum. “Jangan sampai di posita nalar dan petitum didasarkan pada posita itu, sehinggga menjadi sia-sia,” tutur Wahiduddin.

Hakim Konstitusi Suhartoyo juga meminta pemohon untuk menjelaskan kedudukan hukum mengenai keterkaitan organisasi dengan kerugian konstitusional yang dialami. “Kalau tadi bapak menjelaskan  ada tujuan umum dari organisasi adalah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk memperjuangkan Pasal 71 ayat (2) ini keterkaitannya di mana? Karena itulah yang nanti membuat MK akan melihat anggapan kerugian konstitusional yang didalilkan dengan berlakunya norma yang dilakukan pengujian," ucap dia.

Suhartoyo menyarankan pemohon untuk menarasikan pemberian kuasa sifatnya permanen, maka format harus diperbaiki. “Jadi nanti yang hadir Pak Faturohman dan satu lagi yang tidak hadir pada hari ini. Tetapi jika akan hadir prinsipalnya itu juga tidak dilarang. Namun hanya hadir tidak memiliki hak bicara. Kalau sudah memberi kuasa hak yang bicara adalah kuasa hukum kecuali pendampingan,” jelas Suhartoyo.

Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim mengatakan, pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan paling lambat diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada 2 Juni 2022. Namun apabila ingin mencabut permohonan, maka pemohon membuat surat pencabutan dan segera memasukkannya ke Kepaniteraan MK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement