Jumat 13 May 2022 18:27 WIB

'Presidential Threshold Telah Menyimpang dari Sistem Presidensial di Indonesia'

Presidential threshold membatasi peluang capres yang lebih diharapkan masyarakat.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi para hakim anggota memimpin jalannya sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Presidential threshold telah berkali-kali digugat namun selalu ditolak oleh MK. (ilustrasi)
Foto:

Diketahui, gugatan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersama dengan Partai Bulan Bintang (PBB) ke Mahkamah Konstitusi (MK) mulai disidangkan pada Selasa (26/4/2022) lalu. Sidang tersebut masih dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.

Seusai persidangan, Ketua DPD, AA Lanyalla Mahmud Mattalitti mengatakan bahwa gugatan ini bertujuan untuk menyelamatkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat agar tidak dibajak oleh oligarki dan menghindari monopoli partai. Gugatan ini sudah didasarkan pada keputusan bulat rapat paripurna DPD. 

“Demokrasi di Indonesia harus diselamatkan dari cengkeraman oligarki partai politik dan kekuatan uang atau duitokrasi. Salah satu caranya dengan menguji presidential threshold ini ke MK agar semakin banyak mendapatkan alternatif calon presiden. Semakin banyak alternatif pasangan calon, maka peluang Presiden dan Wakil Presiden terpilih dikendalikan oligarki semakin menipis," kata Lanyalla dalam keterangan pers, Rabu (27/4/2022). 

Sejalan dengan DPD, PBB yang digawangi oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra juga berpandangan eksistensi syarat pencalonan presiden 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah pada pemilu anggota DPR sebelumnya telah melanggar hak konstitusional PBB dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Senada dengan opini Saiful Mujani, Yusril mengatakan hak konstitusional dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden diberikan oleh UUD 1945 kepada seluruh partai politik. Pun batasan (threshold) yang diberikan konstitusi adalah diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, tanpa adanya embel-embel perolehan suara.

"Semestinya Pemilu dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip electoral justice. Presidential threshold berdampak negatif karena memberikan perlakuan berbeda kepada partai politik. PBB yang telah berdiri dan berjuang sejak masa reformasi merasa seperti diasingkan akibat keberadaan Pasal 222 UU Pemilu tersebut," ujar Sekretaris Jenderal PBB, Afriansyah Noor.

Pada bulan lalu, Populi Center merilis survei terkait peta politik menjelang Pemilu 2024. Salah satunya adalah mayoritas publik yang tak setuju jika ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen dihapuskan.

Deputi Direktur Populi Center, Rafif Pamenang Irawan menyampaikan bahwa 47,2 persen responden tak setuju jika presidential threshold dihapuskan. Sedangkan yang setuju sebesar 25,3 persen.

"Adapun masyarakat yang mengaku tidak memahami pertanyaan tersebut sebesar 21,6 persen dan menolak menjawab 5,9 persen," ujar Rafif dalam rilis daringnya, Ahad (24/4/2022).

"Paling tidak dari sini menunjukkan bahwa ambang batas presiden itu masih diperlukan menurut publik. Untuk menentukan siapa kontestan di 2024," sambungnya.

 

Populi Center melakukan survei dengan wawancara tatap muka sejak 21 hingga 29 Maret 2022. Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak bertingkat dengan margin of error kurang lebih sebesar 2,83 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Responden dipilih secara multistage random sampling, mulai dari pengacakan untuk kelurahan, rukun tetangga (RT), keluarga, hingga akhirnya mendapatkan responden terpilih. Besaran sampel di setiap wilayah dialokasikan sesuai dengan proporsi daftar pemilih tetap (DPT) data Pemilu 2019.

 

photo
Empat Tantangan Partai Islam - (infografis republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement