Senin 09 May 2022 12:20 WIB

Indahnya Saling Memaafkan, Idul Fitri Saatnya Akhiri Cebong Vs Kampret

Memaafkan itu lebih utama daripada meminta maaf terlepas siapa yang salah.

Ilustrasi Idul Fitri. Idul Fitri adalah momentum saling memaafkan dan mengakhiri pertempuran Cebong Vs Kampret
Foto:

Oleh : Aswar Hasan, Deklarator KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) Sulawesi Selatan, KPI Pusat Periode 2019/2022, Dosen tetap Ilmu Komunikasi Fisip Unhas Makassar

Akhiri Cebong Vs Kadrun

Salah satu residu politik demokrasi yang hingga saat ini masih kerap menggores rasa ukhuwah wathaniyah (solidaritas kebangsaan) kita, adalah terciptanya demarkasi silaturahim akibat provokasi diksi antara cebong dan kadrun. Perselihan antara kedua kubu tersebut, yang berawal dari stereotype perbedaan pilihan politik, kini telah menjadi stigmatisasi yang merembes ke hampir semua dimensi sisi kehidupan berbangsa. Fenomena tersebut, sungguh tak sehat untuk dibiarkan makin berkembang hingga acapkali menjadi bumbu candaan kehidupan yang sesungguhnya telah meracuni rasa solidaritas kebangsaan kita.

Diksi stereotype yang stigmatik antara cebong vs Kadrun sudah saatnya diakhiri di momentum Idul Fitri kali ini. Dalam konteks itulah, pilihan untuk mendahulukan untuk saling memaafkan menjadi sangat relevan.

Betapa tidak, karena menunggu siapa yang memulai untuk meminta maaf secara psikologis pasti akan terkendala. Terlebih jika inisiatif meminta maaf dari salah satu pihak terpublikasi melalui media mainstream, terlebih utama di media sosial yang acapkali maksud baik terbelokkan menjadi tidak baik.

Sementara itu jika kedua belah pihak saling berlomba untuk mendahului dalam rangka saling memaafkan, maka efek psikologisnya akan lebih positif, di mana para pihak terkait langsung atau tidak, tipis peluangnya untuk mempolitisirnya, karena khawatir justru akan mendapat serangan balik dari rasa kebersamaan publik yang menginginkan kebaikan bersama. Masyarakat pasti mendambakan perdamaian.

Terkait sifat dan sikap untuk memberi maaf, Ulama Sufi Surri Al Suqthi, ketika ditanya prilaku memaafkan, beliau pun membaginya menjadi lima macam. Pertama, memberi maaf karena pembawaan yang merupakan karunia Allah untuk hamba-Nya; dengannya ia memaafkan orang yang berbuat zalim terhadap dirinya.

Kedua, sifat memberi maaf yang dilakukan seorang hamba yang mengendalikan amarahnya karena mengharap pahala sedangkan hatinya tidak suka. Ketiga, pemberian maaf yang tercelah, yaitu memamerkan pemberian maaf kepada orang yang berbuat jahat agar dianggap dirinya pemaaf. Orang seperti ini, sebenarnya pendendam terselubung.

Keempat, pemberian maaf dengan sombong, dan memandang lawannya hanya cukup sekadar dimaafkan, tanpa perlu lagi diajak berteman. Kelima, pemberian maaf sebagai penghinaan dan harga diri ( Izzan, Ahmad. “Laa Taghtarr”, 2006).

Terlepas berada di posisi mana ketika bersedia untuk saling memaafkan tanpa menunggu siapa yang harus memulai meminta maaf, itu jauh lebih baik dan lebih memberi kemaslahatan bersama, jika dibanding menunggu siapa yang harus lebih dahulu meminta maaf. Pilihan terakhir menunggu siapa yang harus lebih dahulu meminta maaf, terancam sama halnya dengan pameo menunggu godot, yang tak pernah datang. Wallahu A’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement