Jumat 06 May 2022 09:40 WIB

Sholat Id di Lapangan dan Toleransi Muhammadiyah-NU

Muhammadiyah dan NU bisa hidup berdampingan, saling menerima dan melengkapi.

  Sejumlah Jamaah Muslim Muhammadiyah melaksanakan Sholat Id di lapangan.
Foto:

Saat ini, Sholat Id di lapangan sudah menjadi kelaziman, termasuk di Margasari. Seperti yang terjadi di banyak daerah, pelaksanaan Sholat Id di lapangan Margasari pada mulanya juga menimbulkan ketegangan, tetapi sejak awal tahun 2000-an tak lagi terjadi. Yang tergambar dari pelaksanaan Sholat Id 1443 H, Senin lalu, justru menjadi potret wajah toleransi.

Posisi Lapangan Barat Margasari yang menjadi tempat Sholat Id memiliki luas hampir setara dengan luas lapangan sepak bola dengan standar internasional. Posisi Lapangan Barat tepat berada di pinggir jalan nasional jalur Tegal-Purwokerto.

Sholat Id di Lapangan Barat dimulai jam 07.00 dan tepat pukul 07.10 Salat Id dimulai dan dilanjutkan dengan khutbah. Memulai Sholat Id pada jam 07.00 tentu termasuk siang. Siangnya pelaksanaan Sholat Id ini karena demi menghormati pelaksanaan Sholat Id di Masjid At-Taqwa yang posisinya sesuai arah mata angin tepat berada di pojokan Barat Daya dari Lapangan Barat, yang rangkaian Sholat Id-nya dimulai jam 06.15 dan selesai pada pukul 07.00. Jadi prosesi Sholat Id warga Muhammadiyah dimulai ketika pelaksanaan Sholat Id di Masjid At-Taqwa telah atau hampir selesai.

Warga Muslim di Desa Margasari yang berada di sekitar Lapangan Barat dan Masjid At-Taqwa sudah memahami dengan baik budaya toleransi yang seperti ini. Bagi warga Nahdliyin yang kebanyakan melaksanakan Sholat Id di Masjid At-Taqwa, mereka akan berangkat menuju Masjid At-Taqwa lebih pagi.

Sebaliknya, bagi warga Muhammadiyah dan sebagian warga Nahdliyin yang akan melaksanakan Sholat Id di Lapangan Barat akan menuju ke lapangan lebih lambat. Biasanya mereka akan menuju lapangan ketika mereka yang melaksanakan Sholat Id di Masjid At-Taqwa telah menyelesaikan Sholat Id atau tengah memulai khutbah Id.

Akibat Covid-19, di mana kebanyakan warga Muslim yang merantau ke luar daerah, utamanya Jabodetabek, tidak sempat mudik selama dua tahun, maka Sholat Id kali ini, baik yang berlangsung di Masjid At-Taqwa maupun Lapangan Barat secara kuantitas mengalami peningkatan. Jumlah jamaah di Masjid At-Taqwa misalnya terlihat sampai sedikit meluber ke halaman masjid. Begitu pun jamaah Sholat Id yang berlangsung di Lapangan Barat juga melangalami lonjakan hingga melebihi jamaah yang berada di Masjid At-Taqwa. Menurut penuturan Ketua PRM Margasari Samsul Fata, diperkirakan jamaah yang ikut Sholat Id di Lapangan Barat berjumlah lebih dari 2,6 ribu jamaah.

Pelaksanaan Sholat Id di Margasari patut menjadi contoh bagi daerah lain. Pertama, Margasari hanya nama sebuah desa dan sekaligus kecamatan di Kabupaten Tegal. Lazimnya pedesaan, apalagi di Jawa Tengah, kecenderungan pola beragamanya bersifat homogen. Pola beragama ini tentu berbeda dengan di daerah urban atau perkotaan yang cenderung heterogen.

Ketika pola beragama di pedesaan yang cenderung homogen mampu menghasilkan tradisi beragama yang toleran, tentu ini luar biasa. Sebab di banyak daerah masih sering terjadi ketegangan-ketegangan, terutama dalam menyikapi persoalan furuiyah atau khilafiyah, termasuk menyikapi perbedaan tempat pelaksanaan Sholat Id: lapangan atau masjid.

Kedua, ada pesan kuat terkait pentingnya toleransi, bahwa perbedaan adalah niscaya, sunatullah, sebagaimana pesan QS. Al-Hujurat: 13, dan semestinya niscaya pula dalam menyikapi perbedaan tersebut dengan mengedepankan prinsip-prinsip universal yang tergambar dalam maqasid al-syariah, di antaranya prinsip toleransi (tasamuh). Dalam konteks negara Pancasila yang menjunjung tinggi kebinekaan, termasuk bhineka dalam hal keberagamaan, toleransi juga menjadi keniscayaan. Tak dibenarkan ada monopoli kebenaran dalam beragama, terlebih dalam hal yang berkenaan dengan masalah furuiyah dan khilafiyah.

Ketiga, terkait tradisi tempat pelaksanaan Sholat Id di Margasari menggambarkan bahwa secara sosiologis, Muhammadiyah dan NU struktural maupun “Nahdliyyin kultural” bisa hidup berdampingan, saling menerima dan melengkapi. Poin terakhir: “Nahdliyyin kultural” sengaja saya sebut, karena faktanya di masyarakat terdapat varian ini, yang secara kuantitas jauh lebih banyak, di mana secara kultural mereka menjalankan amalan-amalan keagamaan yang dilakukan oleh NU, namun tak banyak di antara mereka yang paham masalah keNUan, kecuali amalan-amalan ritual peribadatan.

Secara organisatoris, mereka biasanya tidak terlibat aktif di NU. Lebih dari itu, pilihan politik mereka juga biasanya berbeda dengan mereka yang berada di wilayah NU struktural.

Kerap kali di banyak daerah, Muhammadiyah sulit diterima hanya karena berbeda dalam hal paham keagamaan, terkait masalah furuiyah maupun khilafiyah, hal yang sebenarnya juga dipelajari di kalangan pesantren, yaitu ketika mengkaji kitab-kitab perbandingan madzhab, terutama madzahib al-arbaah. Disayangkan, terkadang perbedaan furuiyah atau khilafiyah kurang atau bahkan mungkin sengaja tidak dijelaskan secara baik, sehingga di level arus bawah, ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh perbedaan furuiyah dan khilafiyah masih kerap terjadi. Sedikit sekali para kiai atau ustadz yang mencoba serius menyampaikan perbedaan-perbedaan keagamaan dalam konteks mencari konvergensi, titik-titik temu di antara umat Islam yang berbeda dalam hal paham keagamaan.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dari NU dan Mas Tafsir Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah adalah sedikit dari kiai atau ustadz yang dalam banyak kesempatan ceramah-ceramahnya sering memberikan pesan kuat akan pentingnya memahami dan bertoleransi dalam hal pandangan keagamaan yang berbeda. Sementara tidak sedikit kiai atau ustadz yang justru “menikmati” dan sekaligus “memanfaatkan” secara kurang positif atas perbedaan-perbedaan furuiyah maupun khilafiyah di antara umat Islam.

Perbedaan-perbedaan ini tidak mencoba dijelaskan dengan baik, misalnya dengan pendekatan kajian perbandingan madzhab. Bahkan sebaliknya, seolah-olah justru fungsional bagi kebanyakan kiai dan ustadz.

Realitas ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa kiai atau ustadz yang alim memang banyak, namun sedikit sekali yang mempunyai kearifan. Memang tidak mudah menjadi kiai atau ustadz yang alim sekaligus arif.

Kiai atau ustadz yang mampu menyandang predikat alim dan arif biasanya dalam dirinya tertanam kuat sebuah prinsip bahwa perbedaan merupakan keniscayaan. Karena berbeda itu niscaya, maka perbedaan tak seharusnya mengalahkan kebersamaan (ukhuwah) di antara umat Islam, sebagaimana pesan QS. Ali Imron: 103.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement