Sabtu 23 Apr 2022 18:46 WIB

Tiga Periode, Periode Ketiga

Arti ketiga dalam bulan Ramadhan

Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengecek paket sembako sebelum didistribusikan kepada warga di Balairung Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Sabtu (23/4/2022). Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menyalurkan donasi sembako sebanyak 2.700 paket kepada karyawan outsourcing UI golongan 1 dan 2, serta warga Depok yang tersebar di daerah Beji Timur, Aula Pemkot Depok, dan di SDN Beji 2 Depok sebagai upaya meningkatak kepedulian kepada sesama. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Ketika saya diberi kesempatan bicara tentang hikmah Ramadhan, saya mulai dengan testimoni bahwa setelah mengikuti rangkaian acara sebelumnya saya khawatir akan “menebar garam ke laut DPPK.” Sisi “moderat dan modern” yang ingin mereka dengar dari saya sejatinya sudah dipraktikkan dengan sangat baik.

Moderatisme dalam Islam yang disebut wasathiyah. Berasal dari kata wasatha yang memiliki pengertian etimologis sebagai asy syay-i ma bayna tharfaihi atau “sesuatu yang berada di antara dua sisi”.

Di satu sisi adalah segala sesuatu yang berlebihan dan melampaui. Dalam ibadah disebut ghuluw, dalam muamalah disebut israf. Contohnya ada Sahabat Nabi s.a.w. ( peace be upon him) yang berpuasa—di luar bulan Ramadhan--tanpa putus, salat malam tanpa tidur, dan tidak menikah karena takut konsentrasi beribadahnya terganggu. Apakah Nabi memuji sahabat ini? Tidak. Nabi bahkan mengoreksi dengan mengatakan kepada orang itu bahwa dirinya (Nabi) tetap berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, serta menikah dan membina keluarga. Padahal dirinya adalah sebaik-baik manusia.

Dalam muamalah, contoh israf bisa dilihat saat berbuka puasa. Terkadang para shoimin-shoimat (lelaki dan perempuan yang berpuasa) melampiaskan waktu berbuka dengan makanan melimpah ruah, padahal dengan porsi yang lebih sedikit sudah mencukupi. Sikap berlebihan ini disebut israf. Boros. Bahaya dari israf adalah jika makanan tak habis dan ada yang terbuang percuma. Ini disebut tabzir dengan para pelaku disebut “mubadzir”—istilah yang populer di Indonesia.  Islam mengecam keras gaya hidup ini melalui ayat pengingat, “ ... jangan berlaku tabzir/karena para mubadzir (pelaku tabzir) adalah kawan-kawan setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan.” (QS 17: 26-27).

Sisi berseberangan dengan ghuluw dan israf (serta tabzir) adalah bersikap masa bodoh, cuek bebek. Agama sudah memberitahukan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan pelipatgandaan pahala kebajikan, etapi masih saja apatis ibadah. Rajin ikut buka puasa bersama, tapi enteng saja meninggalkan salat magrib. Sudah tahu informasi Nabi memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan, namun tetap saja alokasi THR lebih banyak digunakan untuk “baitul mall” (konsumtivisme) ketimbang disalurkan baitul mal atau infak dan sedekah.

Sudah paham anjuran agar di bulan Ramadhan lebih intens baca Al Qur’an, tetap saja waktu tersita untuk baca WA dari sahur sampai sahur berikut. Sehingga prestasi maksimal paling hanya khatam 1 juz,tidak lebih baik dari Ramadhan tahun sebelumnya. Ini bukan karena tak lancar baca melainkan karena, ya itu tadi, salah prioritas yang bersumber dari sikap masa bodoh akut dalam beragama. Ini ciri mereka yang menyalahgunakan makna hadist Nabi “Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya.” (HR Bukhari-Muslim) dengan semangat memudah-mudahkan  yang berlebihan. Jika kita termasuk dalam kelompok ini, harap selalu diingat bahwa beragama itu mudah namun jangan dimudah-mudahkan.

Senyampang masih ada kesempatan periode ketiga, dan periode terakhir, evaluasi lagi cara ibadah Ramadhan kita pada 20 hari sebelumnya. Termasuk kelompok manakah kita dari empat jenis ini?

Pertama, mereka yang sudah gas pol sejak awal dan konsisten sampai sekarang. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam, dini hari, full ibadah. Kedua, mereka yang semangat pada hari-hari pertama lalu mengendur seiring berjalannya waktu. Ketiga, mereka yang late-starter di awal dan bertipe diesel. Namun dari hari ke hari terus memperbaiki diri dan kian bersemangat mendulang berkah Ramadhan. Keempat, mereka yang sejak awal bulan suci sampai sekarang tetap “business as usual”. Kesucian dan daya tarik Ramadhan tak menggetarkan dawai kalbu apalagi menggerakkan semangat untuk melipatgandakan ibadah.

Periode ketiga pada 10 hari terakhir ini adalah pembuktian yang sebenarnya bagi setiap muslim apakah dirinya lebih baik atau lebih buruk dari seekor kuda, hewan yang hanya mengandalkan insting dalam bertindak. Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “Seekor kuda pacu jika sudah mendekati garis finish akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk meraih kemenangan. Sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya. Karena itu jika kalian termasuk orang yang tidak baik dalam penyambutan, semoga kalian bisa melakukan yang terbaik saat perpisahan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah mengingatkan, “Yang akan menjadi ukuran adalah kesempurnaan akhir dari sebuah amal dan bukan buruknya permulaan.”

Sahabat terdekat Nabi dan khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq rajin berdoa, “ Allahummaj’al khoiro ‘umri akhirohu, wa khoiro ‘amali khawatimahu, wa khoiro ayyami yauma alqoka  (Ya Allah, jadikan usia terbaikku ada di pengujungnya, amal terbaikku ada di penutupnya, dan hari terbaikku ketika aku bertemu denganMu)”.

Tentang keutamaan waktu akhir ini Rasulullah Muhammad s.a.w. bersabda, “ Innamal a’malu bil khawatim (Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh bagian penutupnya).”

Inilah salah satu makna kemudahan dalam beragama itu. Kita mungkin terlalai pada periode pertama dan periode kedua bulan suci karena satu dan lain hal, namun jangan sampai menyia-nyiakan periode ketiga Ramadhan yang masih dihamparkan Allah dengan penuh cinta bagi hamba-hambaNya yang berakal.  

 

23.04.22

(21 Ramadhan 1443 H)

@akmalbasral

Penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement