REPUBLIKA.CO.ID, CIANJUR -- Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Cianjur, Jawa Barat, mencatat sepanjang 2022 terjadi tujuh kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan dengan korban berusia di bawah umur.
Ketua Harian P2TP2A Cianjur, Lidya Umar mengatakan dari tujuh kasus tersebut, enam di antaranya merupakan persetubuhan dan satu kasus sodomi. Sedangkan laporan terbaru terkait meninggalnya korban perempuan di bawah umur yang sempat diperkosa dan diberi minuman keras di Kecamatan Agrabinta, Cianjur.
"Sebagian besar pelakunya dikenal dekat oleh korban seperti pacar, ayah tiri sampai ada yang ayah kandung. Korban rata-rata di bawah umur dan mudah diperdaya pelaku karena sudah kenal dan dekat," katanya.
Untuk saat ini pihaknya banyak mendampingi keluarga dan korban, agar tidak takut atau malu melaporkan diri guna memberi efek jera terhadap pelaku yang sebagian besar melakukan aksinya berulang-ulang dengan ancaman.
"Kami akan terus memberikan pendampingan terhadap korban agar tidak trauma berlarut-larut, termasuk memberikan pendampingan kejiwaan," katanya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Cianjur, menilai dengan maraknya kasus yang menimpa anak di Cianjur, membuat Cianjur belum layak disebut kota/kabupaten layak anak, meski memiliki Perda nomor 5 tahun 2021 tentang Kabupaten Layak Anak.
"Pemkab seharusnya segera menerapkan Perda secara langsung dan utuh sesuai dengan tujuannya, bukan hanya tercatat diatas kerta, namun di lapangan tidak dipergunakan," kata Komisioner KPAI Cianjur, Ai Maryati.
Pihaknya juga meminta pemkab segera membentuk tim khusus dan daerah percontohan untuk daerah layak anak, berikut fasilitas penunjang, mulai dari fasilitas umum, pendidikan, informasi, internet, dan lainnya dapat disediakan sesuai kebutuhan anak.
"Cianjur belum menjadi daerah layak anak meski sudah memiliki perda namun anak di bawah umur masih rentan menjadi objek kekerasan, terutama kekerasan seksual. Ini harus menjadi tugas bersama untuk menekan angka kekerasan itu," katanya.