REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) membantah menjual data pribadi warga. Hal ini disampaikan usai Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menyatakan akan mengenakan tarif untuk akses data administrasi kependudukan (adminduk) melalui mekanisme pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
"Dalam hal PNBP, jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan itu sendiri tidak menjual data penduduk dan tidak memberikan data. Lembaga Pengguna sudah punya data dan diverifikasi oleh Dukcapil," ujar Zudan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (16/4).
Dia mengatakan, Dukcapil hanya memberikan verifikasi data seseorang dengan notifikasi true/false atau sesuai/tidak sesuai. Semua lembaga pengguna data Dukcapil sudah punya data nasabah atau calon nasabah. Data itulah yang kemudian diverifikasi ke Dukcapil.
"Sehingga lembaga pengguna bisa memverifikasi data seseorang dengan akurat, secure, dan valid. Misalnya, pemilik data tersebut masih cocok tidak datanya dengan Dukcapil, masih hidup, masih sesuai alamatnya, dan lainnya," kata dia.
Zudan menjelaskan, sektor swasta yang memanfaatkan akses data kependudukan harus melalui berbagai tahapan atau persyaratan. Persyaratan itu di antaranya telah bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil melalui penandatangan nota kesepahaman (Mou) atau perjanjian kerja sama, non disclosure agreement, sistem PoC (proof of concept) maupun surat pertanggungjawaban mutlak (SPTJM) untuk mematuhi kewajiban menjaga dan melindungi data.
"Serta tidak boleh memindahtangankan data walaupun sudah tidak bekerja sama atau dikenal dengan istilah zero data sharing policy. Para lembaga pengguna juga harus siap mengikuti ketentuan regulasi yang berlaku," tutur dia.
Di samping itu, Zudan menyampaikan, penerapan PNBP dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia sudah berjalan lama, seperti biaya pembuatan SIM, perpanjangan STNK, plat kendaraan bermotor, paspor, sertifikat tanah, dan sebagainya. Sementara, kata dia, pertimbangan dasar penerapan tarif nomor induk kependudukan (NIK) atau jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan ialah untuk menjaga sistem Dukcapil tetap hidup.
Selain itu, lanjut Zudan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan akurasi data. Sebab, beban pelayanan makin bertambah, karena jumlah penduduk meningkat dan jumlah lembaga pengguna juga naik, dari 30 sekarang menjadi 5.010 lembaga yang sudah kerja sama. Sedangkan, anggaran yang bersumber dari anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) terus menurun.
Dia menekankan, sektor usaha yang akan dibebankan tarif NIK adalah lembaga sektor swasta yang bersifat profit oriented. Contohnya, lembaga perbankan, asuransi, pasar modal, dan sekuritas.
Untuk kementerian/lembaga pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga pelayanan publik seperti BPJS Kesehatan dan RSUD semuanya tetap gratis. Dia menyebutkan, Kemendagri tidak memberikan hak akses kepada perorangan, melainkan hanya kepada lembaga berbadan hukum.
Di sisi lain, Dukcapil Kemendagri mengaku tidak memasang target atau memperkirakan besaran dana yang diterima dari PNBP tersebut. Dia mengeklaim, pihaknya tidak mencari pendapatan, tetapi tambahan untuk APBN agar sistem Dukcapil tetap terjaga demi pelayanan kepada masyarakat.
"PNBP akan dimanfaatkan untuk perawatan dan peremajaan infrastruktur server dan storage Ditjen Dukcapil dalam melayani masyarakat dan lembaga pengguna," tuturnya.