Sabtu 16 Apr 2022 13:19 WIB

Ketika Warga Keturunan Tionghoa Menjadi Aset Umat: Pinjaman Bestari Supardi Lee

Contoh nyata kepedulian keturunan warga Tionghoa

Supardi Lee
Foto:

Terinspirasi oleh virtue ethics dan semangat Supardi yang energetik, kemarin sore (Jum’at, 15/4) saya sambangi rumahnya di lahan seluas 2.000 meter persegi di tengah pemukiman padat warga di kawasan Mekarsari, Cimanggis, Depok. Dia menyambut dengan gestur yang membuat saya jengah karena bergegas mengambil tangan kanan saya dan mencium cepat seperti kebiasaan santri kepada kiai di pondok pesantren. “Kehormatan besar bagi saya dikunjungi Uda Akmal,” ujarnya dengan kerendahan hati yang hangat.

Di halaman depan terhampar 20 kolam lele Sangkuriang yang sesekali berkecipak riang. “Sejak pandemi jumlah kolam dikurangi. Tadinya sempat 50 kolam,” ujarnya saat memberikan tur singkat. “Saya mulai beternak lele tahun 2009 dengan modal Rp 30 juta. Tiga bulan kemudian panen pertama cuma dapat Rp 750 ribu. Untuk bayar karyawan saja nggak cukup. Syok juga. Saya minta bantuan pakar lele Abah Nasrudin untuk mengevaluasi. Dari masukan beliau saya sempurnakan sistem, alhamdulillah panen kedua dapat 6-7 juta rupiah dan panen seterusnya naik lagi sehingga dalam setahun bisa BEP.”

Namanya usaha tidak selalu untung, kadang buntung. Supardi pernah juga rugi besar ketika tiga ribu ekor lele mati bersamaan. “Rupanya ada pembantu saya suka buang nasi sisa makanan ke dalam kolam. Dia pikir nasi itu baik buat lele. Dia tidak tahu bahwa lele itu karnivora, tidak suka karbohidrat. Mereka pemakan protein. Itupun harus cacing sutera nggak bisa cacing tanah biasa. Jadi ketika nasi dibuang ke kolam, lele memang menyambar berdasarkan insting. Ada sedikit yang mereka makan, sebagian besar nasi mereka lepeh dan bertumpuk di dasar kolam.

Di seberang lokasi kolam lele, terbentang rumah pribadi Supardi yang baru selesai direnovasi tahun lalu. Besar, kokoh, megah. Dia mengajak saya menuju sebuah gazebo dengan sofa yang beberapa bagian masih dibungkus plastik. Di depan gazebo terhampar kolam renang desain modern ala sanggraloka ( resort). Di antara gazebo dan kolam renang berdiri sebuah booth gaya container cafe. “Ini akan difungsikan sebagai coffee shop,” katanya sebelum kami duduk di salah satu sofa dan melanjutkan pembicaraan. “In syaa Allah sesudah lebaran beroperasi.”  

Pembicaraan kami berlanjut di gazebo dalam dekapan rembang petang dan angin senja yang bertiup semilir. “Saya lahir sebagai bungsu dua bersaudara di keluarga Konghucu,” katanya. “Kami tinggal di Jalan Pagarsih, Bandung, sekitar satu kilometer dari Alun-alun pusat kota. Ayah saya punya pabrik benang kasur yang bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan baik.”

Namun interaksi Supardi dengan sang ayah tak lama, hanya sekitar lima tahun, sebelum sang ayah sakit parah dan wafat. Ibunya menikah lagi dengan pria muslim. “Melalui ayah tiri itu akhirnya ibu, kakak, dan saya, menjadi muslim.” 

Saat menjadi murid SMA 4—berlokasi di depan lokalisasi pelacuran Saritem—Supardi lolos sebagai mahasiswa baru IPB tanpa harus ikut ujian karena diterima PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). “Dari satu sekolah hanya empat orang yang diterima termasuk saya,” katanya. “Tapi untuk membayar uang pendaftaran yang Rp 36 ribu saat itu saya tidak bisa karena begitu miskinnya keluarga kami saat itu. Beberapa tahun sebelumnya ibu bercerai dengan ayah tiri saya, dan menopang kehidupan kami dengan berjualan gado-gado di depan rumah. Untuk bisa daftar kuliah, ibu saya pinjam uang ke tetangga samping rumah. Namanya Ibu Enin. Dia baik sekali selalu bantu kebutuhan keluarga kami.”

Fase pindah ke Bogor itu menjadi titik balik kehidupan Supardi. “Kalau tidak diterima PMDK berarti saya tetap di Bandung. Itu artinya nggak bisa kuliah karena kondisi kami saat itu miskin sekali. Saya tidak tega meminta uang untuk kuliah kepada ibu. Tetapi dengan diterima di (IPB) Bogor, saya malah dibantu tante untuk kebutuhan hidup bulanan sebagai mahasiswa.”

Semester pertama langsung menjadi pembuktian Supardi dengan meraih IP 3,6. Cum laude. Dia ikut HMI, belakangan menjadi Ketua Komisariat Fakultas. “Saya aktivis 98 juga. Sering berdemo di depan Istana Bogor. Kadang-kadang ke Jakarta bergabung dengan kampus lain, termasuk di depan Gedung DPR/MPR,” ujarnya.

Jiwa kewirausahaannya mulai terasah setelah mendapatkan pembiayaan dari Bank Bukopin sebesar Rp 19,4 juta untuk bisnis ikan mas di Leuwiliang yang melibatkan kolam milik warga. Di tahun 1999, dia mengikuti program AMT ( Achivement Motivation Training ) yang dibawakan Farid Poniman, kakak kelasnya di IPB beda 12 angkatan. “Saya terpukau melihat sosok Pak Farid yang strong, artikulatif, wawasan luas. Saya punya keinginan untuk menjadi trainer dan motivator sehebat Pak Farid.”

Farid Poniman juga menjalankan Islamic Center di Bogor dengan salah satu program Training Da’i. “Saya daftar dan diterima. Ini pekerjaan pertama saya setelah lulus kuliah. Buat saya honor sebesar Rp 200 ribu yang dibayarkan per tiga bulan, tidak membuat minat saya surut. Saya malah sangat bersemangat karena banyak sekali yang bisa saya pelajari dan nikmati sebagai fresh graduate.”

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement