Selasa 12 Apr 2022 09:05 WIB
Rumah Gagasan

Resiliensi Pascanormal

Keberagamaan menjadikan orang yang depresi tetap resilien.

Virus Covid-19 (ilustrasi)
Foto: www.wikimedia.org
Virus Covid-19 (ilustrasi)

Oleh : H Fuad Nashori*

REPUBLIKA.CO.ID,  Sebuah riset peneliti Universitas Indonesia tahun 2021 memotret resiliensi orang In­do­nesia. Penelitian yang melibatkan 5.817 partisipan yang berusia 18-82 tahun dengan pro­fesi yang sangat beragam ini menunjukkan umum­nya orang Indonesia memiliki daya tahan yang tidak menggembirakan. Saat itu, resiliensi orang Indonesia rendah.

Resiliensi, oleh American Psychological As­so­ci­ation, diartikan sebagai proses adaptasi da­lam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, an­caman atau bahkan sumber-sumber signifikan yang dapat menyebabkan individu stres. Dua pa­kar utama resi­liensi, Kathryn M Connor dan Jo­nathan RT David­son, dalam tulisannya di De­pres­sion and Anxiety (2003), mengartikan resili­en­si sebagai kualitas ke­mampuan seseorang da­lam menghadapi kesulitan. Dari pengertian di atas, dapat dipahami kalau seseorang punya resiliensi tinggi berarti mereka mampu bangkit dan beradaptasi terhadap kesulitan, dalam hal ini Covid-19. Sebaliknya, mereka yang resi­liensinya rendah tidak atau belum bangkit dan tidak atau belum beradaptasi dengan kesulitan.

Apa yang kita saksikan sekarang? Kehidupan seakan seperti normal kembali. Sebagian orang menyebutnya pascanormal. Jalan, mal, kafe, kam­pus, sekolah, bank, perkantoran, bahkan pa­sar yang sebelumnya dibatasi, sekarang serba bebas. Dengan menunjukkan aplikasi PeduliLin­dungi, semua beres. Ini seperti memberi isyarat bangsa kita telah menghayati hidup kembali se­perti normal dan kita menerima Covid-19 sebagai ba­gian kehidupan.  Di balik fakta yang terlihat ini kita merasakan adanya ke­bangkitan kembali se­telah mengalami keterpuru­kan. Ungkapan “ber­sahabat dengan Covid” yang se­r­ing didengungkan menggambarkan tingkat adap­tasi yang berkem­bang sangat baik.

Religiusitas dan Resiliensi

Ajaran agama me­megang peran yang sangat penting kala meng­hadapi wabah besar seperti Covid-19. Yang pasti orang beragama percaya tidak mungkin ada wabah yang menjadi pandemi tanpa izin Allah. Bila Allah mengizinkan sesuatu terjadi, maka ti­dak ada kekuatan yang dapat menolak kehadiran­nya. Bila Allah menghendaki tidak terjadi sesuatu, maka tak ada kekuatan apapun selain Allah yang mem­buatnya terjadi.  Orang yang beragama per­caya bencana adalah ujian Allah bagi manusia. Allah berfirman: Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu (QS Ali Imran, 3:186). Musibah sendiri merupakan ujian untuk me­ngukur kualitas manusia agar akan mening­kat kebera­ga­maannya atau ketaatan kepada Allah.

Sejumlah penelitian sebelum Covid-19 menun­juk­kan religiusitas memiliki pengaruh terhadap kemampuan bangkit. Keberagamaan menjadikan orang yang depresi tetap resilien. Keberagamaan menjadikan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tetap resilien. Keberagamaan juga menjadikan pasien kanker tetap resilien.

Di awal Covid-19, orang terkaget-kaget dengan pandemi yang luar biasa ganas ini. Kecemasan in­dividu sangat tinggi. Orang yang beragama se­gera melakukan penyesuaian diri dengan kembali kepada agama. Orang yang sabar, yang memiliki kesadaran bahwa sesuatu terjadi karena Allah dan bersedia menerima kenyataan sekalipun pahit, tetap berupaya untuk menyikapi pandemik dengan tegar. Sayangnya adalah umumnya orang butuh waktu untuk menegakkan sikap realistis. Mungkin dikarenakan keberagamaan yang belum terpatri kuat dalam hidup individu.

Sesudah Covid-19, sejumlah hasil penelitian juga men­unjukkan keberagamaan berperanan dalam meningkatkan daya tahan dan menurunkan stres. Hasil penelitian Elmy Bonafita Zahro dkk (2022) menunjukkan religiusitas memberikan pengaruh nyata terhadap resiliensi keluarga terdampak Covid-19. Mereka yang terdampak Covid-19 (penyintas Covid-19 atau keluarga penyintas Covid-19) memandang apa yang mereka alami sebagai ujian dari Allah. Itu yang menjadikan mereka resilien. Hasil pe­nelitian di atas mendapat dukungan dari hasil riset Farra Annisa Rahmania dan Fuad Nashori yang dimuat Jurnal Psikologi Islam dan Budaya (2021). Mereka menemukan para nakes yang berhadapan langsung dengan warga masyarakat yang menjadi penyintas Covid-19 memiliki modal kesabaran dan kebersyukuran yang memung­ki­nan­nya tidak mengalami stres.

Dukungan Sosial dan Resiliensi

“Resiliensi rendah bukan karena menderita penyakit, tetapi karena orang-orang kehilangan kesenangan me­reka,” ungkap sejumlah pihak. “Seperti tidak bisa bertemu teman atau saudara, nongkrong, atau berpergian ke suatu tempat”. Ungkapan di atas menggambarkan pentingnya dukungan so­sial hingga seseorang dapat menerima kenyataan yang pahit. Dukungan sosial berarti perhatian atau kepedulian dari orang yang menghargai dan menyayangi individu. Dukungan sosial bersumber dari keluarga, teman, dan orang-orang penting lain. Dukungan sosial dapat berwujud informasi, keuangan, perhatian, pengahargaan.

Dukungan sosial tak diragukan memegang pe­­ran yang amat penting agar seseorang memili­ki kekuatan batin yang bernama resiliensi. Saat orang-orang harus bekerja atau bersekolah dari ru­mah dan di sana ada dukungan sosial dari kelu­arga dan teman, maka orang-orang akan mera­sa­kan dirinya yang punya daya tahan tinggi. Na­mun, bila saat menghadapi Covid-19 tidak beroleh du­kungan dari keluarga, maka individu akan me­ra­sakan susahnya menerima kenyataan pahit di mana Covid-19 semakin hari semakin mendekati rumah mereka.

Jauh sebelum Covid-19, para ahli telah mene­mu­kan dukungan sosial menjadi modal untuk terjadinya resiliensi. Dukungan sosial menjadikan petugas kepolisian yang mengalami depresi lebih resilien. Dukungan menjadikan orang-orang yang mengalami trauma lebih resilien. Dukungan sosial menjadikan keluarga pasien penyakit kan­ker lebih resilien. Dukungan sosial juga menjadi­kan maha­siswa internasional menjadi lebih resili­en.

Saat Covid-19 berlangsung, dukungan sosial me­miliki peran yang riil dalam memantapkan da­ya tahan individu. Hasil riset Esther Ortiz-Calvo dkk (2022) yang terbit Journal of Psychiatric Research mengungkapkan individu yang mem­persepsikan bahwa dirinya mendapatkan perhatian dan duku­ngan orang lain akan merasakan daya tahan yang lebih besar. Dampaknya adalah mereka terbe­bas dari stres,  depresi, dan pikiran bunuh diri.

Demikian. Bagaimana menurut Anda? 

 

*Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement