Senin 11 Apr 2022 08:39 WIB

Sekjen Pena 98 Bandingkan Kenaikan Harga BBM Subsidi di Era Jokowi dengan Rezim Sebelumnya

Ia menggunakan pertalite dan atau premium sebagai perbandingan BBM bersubsidi.

Sejumlah kendaraan mengantre untuk mengisi bensin di Jakarta, beberapa waktu lalu jelang kenaikan harga BBM jenis pertamax.
Foto: Republika
Sejumlah kendaraan mengantre untuk mengisi bensin di Jakarta, beberapa waktu lalu jelang kenaikan harga BBM jenis pertamax.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Persatuan Nasional Aktivis 98 (Pena 98) Adian Napitupulu mengomentari rencana aksi demo yang akan digelar oleh berbagai kalangan hari ini. Kabar beredar, salah satu tuntutan yang akan disuarakan para demonstran adalah terkait dengan harga BBM.

Menurut Adian kenaikan BBM jenis Pertamax dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 disebabkan banyak faktor baik dalam dan luar negeri. Kenaikan harga pertamax tentu berdampak langsung pada ekonomi, khususnya ekonomi menengah ke atas karena yang menggunakan Pertamax umumnya adalah mobil atau motor pribadi yang masuk kategori menengah dan mewah dengan kisaran harga mobil antara ratusan juta rupiah hingga miliaran.

Baca Juga

"Jadi kalau ada aksi menolak kenaikan harga Pertamax maka tentu yang sangat terbela dan diuntungkan bukan tukang ojek, supir angkutan Umum, angkutan sayur mayur dan ekonomi lemah lainnya, tetapi sekitar 14 persen kelas menengah ke atas pengguna Pertamax, yang pendapatannya boleh jadi di kisaran Rp15 juta per bulan hingga tak terhingga," kata dia, Ahad (10/4/2022).

"Tapi ya sudahlah, cara pandang, kepentingan dan tujuan kan bisa beda-beda. Walau demikian, perbandingan harga BBM dari tiga Presiden ini bisa untuk pembanding data dari yang lainnya. Perbandingan ini dibuat dengan beberapa catatan yaitu, pertama, harga BBM yang dibandingkan adalah jenis Premium dan atau Pertalite," kata dia menjelaskan.

Kedua, kata dia, perbandingan menggunakan UMR Jakarta dalam beberapa kurun waktu. Pada tahun 1991 harga Premium Rp 150,- perliter sementara UMR saat itu Rp 18.200 per bulan. Dengan perbandingan itu maka upah pekerja dalam satu bulan hanya mampu membeli sekitar 121 liter Premium.

Tahun 1998 Premium naik sekitar 700% dari tahun 1991. Dari Rp 150 per liter menjadi Rp 1.200,- perliter sementara UMR naik menjadi Rp 154 ribu per bulan. Jadi upah satu bulan setara dengan 128 liter Premium.

Masih menurut dia, pada saat Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi Presiden harga Premium Rp 1.810,- sementara UMR saat itu Rp 672 ribu perbulan. Perbandingan upah 1 bulan setara dengan 371 liter Premium.

Di akhir pemerintahan SBY pada 2014 harga Premium menjadi Rp 6.500 per liter atau naik sekitar 259% dari harga awal SBY dilantik. Pada tahun terakhir SBY menjabat UMR berada di angka Rp 2.441.000. Menurut Adian, dengan besaran UMR tersebut dibandingkan harga Premium maka upah satu bulan setara dengan 375 liter premium.

"Pada saat Joko Widodo (Jokowi) di lantik harga Premium Rp 6.500 lalu naik menjadi Rp 7.500 tetapi turun lagi menjadi Rp 6.450 per liter. Pada saat itu UMR perbulan Rp 2.700.000,- atau setara dengan 360 liter Premium," kata dia.

Jelang delapan tahun pemerintahan Jokowi Premium berkurang drastis dan digantikan dengan Pertalite yang secara kualitas lebih tinggi dari Premium namun harga juga naik menjadi Rp 7.650 per liter. Jadi kenaikan harga Premium 2014 ke Pertalite 2022 berada di kisaran 16%. Di saat harga Pertalite Rp 7.650 perliter, tingkat UMR saat ini Rp 4.453.000 perbulan. Dengan demikian maka satu bulan upah setara dengan 582 liter Pertalite.

"Singkatnya di pemerintahan Soeharto BBM naik 700% sementara dalam 10 tahun pemerintahan SBY BBM naik 259%. Sedangkan di delapan tahun pemerintahan Jokowi kenaikan BBM Premium ke Pertalite naik sekitar 16% saja," klaim Adian.

"Semoga kita semua hingga dapat melihat permasalahan lebih logis dan terang benderang," ujar dia.

Dikutip dari Antara, sebelumnya, Pertamina menyatakan bahwa kenaikan harga Pertamax karena jenis tersebut merupakan nonsubsidi yang harganya mengikuti fluktuasi minyak dunia. “Pertamina selalu mempertimbangkan daya beli masyarakat, harga Pertamax ini tetap lebih kompetitif di pasar atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lainnya," kata Area Manager Communication & CSR Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus, Deden Mochamad.

Ia mengatakan, kenaikan harga BBM nonsubsidi, khusus Pertamax, baru dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sejak tahun 2019.

Lebih lanjut Deden menjelaskan penyesuaian harga hanya berlaku untuk BBM nonsubsidi yang dikonsumsi masyarakat sebesar 17 persen, dimana 14 persen merupakan konsumsi Pertamax dan tiga persen konsumsi Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex.

Sedangkan BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar subsidi yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebesar 83 persen, tidak mengalami perubahan harga atau ditetapkan stabil di harga Rp7.650 per liter

"Penyesuaian harga ini, sebenarnya masih jauh di bawah nilai keekonomiannnya. Pertamax yang disebabkan melambungnya harga minyak dunia hingga di atas 100 dolar per barel akibat krisis geopolitik," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement