REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 berada di ranah legislatif, bukan di eksekutif. Pemerintah tidak pernah membicarakan soal amendemen.
"Kalau persoalan itu menggelinding jangan melibatkan Pemerintah. Kalau itu menggelinding di DPR, itu urusan DPR," kata Moeldoko di kantor KSP Jakarta, Rabu.
Wacana amendemen UUD 1945 tersebut terkait perubahan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 soal asas periodik pemilu harus yang dilaksanakan reguler dalam waktu tertentu (fix term) lima tahun sekali. Selain itu juga Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur tentang Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
"Pemerintah tidak pernah membicarakan sedikit pun tentang periode lah, tentang perpanjangan lah. No, never. Sama sekali tidak ada. Justru, Presiden (Joko Widodo) menegaskan jangan ada lagi yang bicara tentang itu. Kami fokus bagaimana kesulitan yang dihadapi masyarakat," katanya.
Menurut dia, langkah yang diambil Presiden Jokowi dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan perubahan kondisi global sangat diperlukan."Itu lebih diperlukan dari pada berbicara soal itu (amendemen); dan masyarakat sekarang menghadapi dampak Covid-19. Masih terjadi dampak perang. Jangan bertanya (soal amendemen) kepada eksekutif, itu bukan domain eksekutif," tegasnya.
Usulan penundaan Pemilihan Umum Serentak 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dilontarkan salah satunya oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Menurut Muhaimin, usulan tersebut mempertimbangkan kekhawatiran para pelaku usaha terhadap masa transisi kekuasaan, yang dinilai dapat menyebabkan ketidakpastian di sektor ekonomi dan bisnis.