REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 memberikan tantangan baru bagi pengelola jaminan sosial di dunia termasuk BPJS Kesehatan, khususnya dalam hal bagaimana memperhitungkan proyeksi pembiayaan pelayanan kesehatan di masa mendatang. Apalagi untuk negara seperti Indonesia yang memiliki kompleksitas geografis, sosial dan ekonomi. Tantangan bagi para aktuaris saat ini adalah bagaimana mengembangkan pemodelan spasial terkait proyeksi biaya kesehatan secara jangka panjang.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti dalam Konferensi Internasional: 20th ISSA International Conference of Social Security Actuaries, Statisticians and Investment Specialists (ACT 2022), yang diselenggarakan oleh International Social Security Association (ISSA). Dalam Konferensi ACT 2022 ini, Ghufron menjadi narasumber untuk topik “The Impact of the Covid-19 Pandemic on Social Security Programmes” dan membawakan presentasi berjudul “The Challenges of Sustainability Social Healthcare Program in Indonesia”.
“Pandemi Covid-19 yang terjadi pada tahun 2020 sampai dengan saat ini, menyebabkan ketidakpastian proyeksi pembiayaan jangka panjang jaminan kesehatan. Untuk itu, ke depan diperlukan kerja sama di bidang aktuaria dan antar aktuaris di seluruh dunia untuk menghadapi tantangan pembiayaan kesehatan secara global di masa mendatang. Dengan demikian Sustainable Development Goals (SDG) pada 2015-2030 dapat terwujud seperti yang diharapkan,” ujar Ghufron, dalam siaran persnya.
Ghufron membeberkan, Program JKN-KIS sebelumnya pernah berada dalam kondisi defisit. Pemerintah melalui Perpres 82/2018, Perpres 75/2019 dan Perpres 64/2020 telah berupaya memperbaiki struktur pembiayaan melalui penyesuaian iuran dan penyusunan berbagai strategi optimalisasi program melalui penguatan sistem managed care serta penerapan strategic purchasing. Kabar baik, program ini berhasil bertahan dan menunjukan kinerja keuangan positif dan hingga akhir tahun 2019 tidak ada tunggakan pembayaran klaim pada fasilitas kesehatan.
Namun lanjut Ghufron, kehadiran pandemi Covid-19 tahun 2020 sampai sekarang berdampak pada pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam Program JKN-KIS. Sementara itu, menjelang berakhirnya kondisi pandemi Covid-19, perlu diwaspadai tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan yang diprediksi meningkat. Padahal, dalam Perpres telah memperhatikan perhitungan proyeksi keberlangsungan program sampai dengan tahun 2025, namun belum termasuk adanya kondisi pandemi Covid-19.
“BPJS Kesehatan saat ini terus memantau kondisi rebound fenomena pelayanan kesehatan bagi peserta Program JKN-KIS yang selama pandemi mungkin menunda mengakses layanan kesehatan. Pandemi bisa mengubah skenario proyeksi pembiayaan Program JKN-KIS. Hal inilah yang perlu kita bahas dan kaji bersama bagaimana proyeksi keberlangsungan program JKN-KIS pasca pandemi Covid-19. Sementara saat ini, pembiayaan Covid-19 belum di-cover oleh Program JKN-KIS,” ujar Ghufron.
"Paket manfaat yang ada dalam Program JKN-KIS Indonesia sekarang sudah cukup bagus, tidak perlu dikurangi manfaatnya. Kini yang perlu ditingkatkan adalah mutu layanan, yang sudah mulai bagus dan semakin baik," tambah Ghufron.
Pada kesempatan tersebut, Ghufron juga menyampaikan, sejak diimplementasikan pada tahun 2014, telah terjadi peningkatan yang signifikan pada belanja kesehatan melalui skema jaminan kesehatan dari 8 persen pada tahun 2014 menjadi 23,1 persen pada tahun 2019. Peningkatan belanja program JKN-KIS ini disertai dengan penurunan belanja rumah tangga dari 51,6 persen pada tahun 2014 menjadi 32,1 persen pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan JKN membantu mengurangi beban belanja rumah tangga.
Lebih dari 600 orang dari berbagai negara hadir dalam konferensi tersebut khususnya para aktuaris, ahli statistik, dan spesialis investasi jaminan sosial di dunia. ISSA sendiri terdiri beranggotakan 160 negara. BPJS Kesehatan dalam hal ini Direktur Utama saat ini menjadi Ketua Komisi Kesehatan (TC Health) ISSA.