Ahad 27 Mar 2022 14:42 WIB

Mengapa Orang di Sekitar Tak Menolong Pelajar Korban Penodongan di Bandung?

Seorang pelajar di Bandung tak mendapatkan bantuan ketika menjadi korban penodongan.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Reiny Dwinanda
Suasana Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (18/10/2017). Seorang pelajar di Bandung menjadi korban penodongan pada Rabu (23/3/2022) dan tidak seorangpun di sekitarnya memberikan pertolongan.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Suasana Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (18/10/2017). Seorang pelajar di Bandung menjadi korban penodongan pada Rabu (23/3/2022) dan tidak seorangpun di sekitarnya memberikan pertolongan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengatakan, ada dua aspek yang membuat warga yang berada di sekitar tidak menolong pelajar Kota Bandung, Jawa Barat, yang menjadi korban penodongan. Ia menyebut, ada dua aspek, yaitu dari segi peristiwa dan masyarakatnya.

"Dari segi peristiwanya, kejahatannya terjadi siang hari, maka biasanya pelakunya komplotan karena berani melakukannya saat siang. Kalau pelakunya perorangan, (tindakannya) hanya mencopet," ujar Sunyoto, saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (27/3/2022).

Baca Juga

Sunyoto menilai, orang yang membantu juga bisa menjadi korban ketika menghadapi kejahatan di siang hari dengan pelaku banyak. Bahkan, ia pernah mendengar di kasus yang berbeda, ada anggota TNI yang juga menjadi korban ketika menolong.

Dari aspek masyarakatnya, Sunyoto menilai, tolong-menolong sudah lama menipis. Sebab, masyarakat kini semakin individualis, lebih fokus pada urusannya sendiri, dan menganggap masalah penodongan jadi ranah polisi. Di samping itu, masyarakat sudah menjadi acuh tak acuh.

"Bukan berarti membela komplotan penodong itu, tetapi lebih karena masyarakat menganggap itu bukan urusan saya karena ada polisi dan keamanan," katanya.

Sunyoto mengatakan, rasa individualisme ini berimplikasi pada distribusi peran sehingga peran publik dikotak-kotakkan berdasarkan fungsi. Apalagi, masyarakat urban yang tinggal di perkotaan bersifat heterogen dan lebih formal.

Sunyoto menyebut, masyarakat di kota memiliki referensi nilai yang berbeda-beda. Ini berbeda dengan masyarakat yang ada di daerah pingiran atau di desa yang homogen dan merasa satu entitas atau bersaudara. Jadi, masyarakat desa menganggap tetangga adalah saudara, komunalnya lebih kuat.

"Nilai ini semakin terkikis di kota besar karena tak punya ikatan komunal yang kuat. Individualisme di kota lebih kental, berbeda di desa yang merasakan kolektivisme," katanya.

Di sisi lain, Sunyoto mengatakan, masyarakat tidak sontak memberikan pertolongan kepada korban kalau tak tahu caranya. Sebab, itu justru membahayakan diri sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement