Ahad 27 Mar 2022 03:25 WIB

Buat Sendiri Minyak Kelapa, Warga Sarmi tak Terpengaruh Gejolak Minyak Goreng 

100 buah kelapa bisa dikonversi menjadi 10 liter minyak kelapa.

Rep: Febryan A/ Red: Friska Yolandha
Pekerja melakukan proses parut daging buah kelapa untuk proses pembuatan minyak kelapa murni. Berbeda dengan emak-emak di berbagai kota di Indonesia, mama-mama di Kabupaten Sarmi, Papua, tak merasakan sama sekali gejolak kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng kemasan dalam beberapa bulan terakhir.
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Pekerja melakukan proses parut daging buah kelapa untuk proses pembuatan minyak kelapa murni. Berbeda dengan emak-emak di berbagai kota di Indonesia, mama-mama di Kabupaten Sarmi, Papua, tak merasakan sama sekali gejolak kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng kemasan dalam beberapa bulan terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, SARMI -- Berbeda dengan emak-emak di berbagai kota di Indonesia, mama-mama di Kabupaten Sarmi, Papua, tak merasakan sama sekali gejolak kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng kemasan dalam beberapa bulan terakhir. Mama-mama di pesisir utara Papua itu bisa tenang karena mereka terbiasa membuat sendiri minyak goreng dari buah kelapa. 

"Kita ada minyak kelapa. Kita tidak terpengaruh waktu minyak goreng (kemasan) naik," kata Antonia, ibu kepala Kampung Aruswar di Distrik Pantai Barat, Sarmi, kepada Republika.co.id, pekan lalu. 

Baca Juga

"Kita cukup dari minyak kelapa itu saja. Tidak perlu tambah beli minyak goreng kemasan lagi di pasar," imbuh perempuan 43 tahun itu. 

Antonia menjelaskan, dirinya dan mama-mama lain di Kampung Aruswar mencukupi kebutuhan minyak goreng dengan membuatnya sendiri dari buah kelapa secara mandiri. Masing-masing keluarga biasanya membuat minyak kelapa, ada juga yang dibuat berkelompok dengan bantuan mesin parut daging kelapa. 

Untuk mendapatkan bahan bakunya, Antonia tak perlu pusing. Sebab, pohon kelapa bertebaran di sekitar pantai kampung. Menurut perkiraan Pemkab Sarmi pada 2013, sebagaimana dikutip dari situs UNDP, sekitar 3.300 hektare wilayah Sarmi dipenuhi pohon kelapa. Sebagai gambaran, luasan tersebut setara dengan lima kali luas Provinsi DKI Jakarta.

Esthepina Tonja, warga Kampung Arbais, Distrik Pantai Barat, juga sepenuhnya mengandalkan minyak kelapa yang dibuat sendiri. "Semua orang di sini bisa (membuat minyak kelapa). Yang senang untuk buat ya buat," kata perempuan 46 tahun itu.

Esthepina bilang, di kampungnya juga terdapat kelompok kerja (pokja) yang fokus membuat minyak kelapa. Satu pokja terdiri atas 10 orang. Esthepina tak menyebutkan secara rinci berapa hasil produksi pokja tersebut per bulan. Dia hanya bilang bahwa 100 buah kelapa bisa dikonversi menjadi 10 liter minyak kelapa. Sekali produksi butuh waktu tiga hari. 

Pokja ini pun bisa menjual hasil produksinya ke masyarakat setempat yang tak membuat sendiri minyak kelapa. Ada juga yang dijual ke pasar melalui agen-agen yang datang menjemput. 

Esthepina menyebut, minyak kelapa bersih alias tidak dimasak terlebih dahulu (Virgin Coconut Oil/VCO), dijual Rp 15-16 ribu per liter. Sedangkan minyak kelapa yang sudah dimasak dijual sekitar Rp 20 ribu per liter. 

Bupati Sarmi, Edouard Fonataba mengatakan, mayoritas warga Sarmi memang mengonsumsi minyak kelapa buatan rumahan. Keberadaan minyak kelapa produksi warga Sarmi ini "sudah mengalahkan" minyak goreng kemasan yang dibuat dari kelapa sawit. 

"Hasil turun temurun di kabupaten ini adalah kelapa yang diolah jadi berbagai produk. Jadi Sarmi bisa," kata Edouard dalam pidatonya ketika menyambut kedatangan Menteri Sosial Tri Rismaharini di Kampung Apawer, Distrik Pantai Barat, Selasa. Dia menambahkan, selain minyak goreng, buah kelapa di Sarmi juga diolah menjadi sabun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement