Rabu 23 Mar 2022 19:05 WIB

PHK tak Dapat Jaminan Hari Tua, UU Jaminan Sosial Digugat ke MK

Menurut pemohon, hari tua bermakna ketika pekerja sudah tidak cakap lagi bekerja.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi jaminan hari tua (JHT). Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang telah diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Rabu (23/3/2022).
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Ilustrasi jaminan hari tua (JHT). Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang telah diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Rabu (23/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang telah diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Rabu (23/3/2022). Pasal yang digugat mengenai tujuan jaminan hari tua (JHT). 

Pemohon uji materi ialah Samiani yang memberikan kuasa kepada M Sholeh. Pasal yang digugat yakni Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU SJSN sebagaimana diubah UU Ciptaker yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 

Baca Juga

Pasal 35 ayat (2) UU SJSN berbunyi, ”Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.” 

Pasal 37 ayat (1) UU SJSN berbunyi, “Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiunan, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.” 

Menurut pemohon, hari tua bermakna ketika pekerja sudah tidak cakap lagi bekerja. Artinya, pekerja sudah tua, beralih profesi menjadi wiraswasta, atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Namun, adanya ketetapan pemerintah pada pasal a quo, justru tidak memberikan jaminan bagi peserta yang terkena PHK atau mengundurkan diri. Sehingga, pemohon menilai ketentuan norma tersebut diskriminatif. 

Sebab, pekerja yang cacat total mendapatkan manfaat dari JHT, sedangkan pekerja yang terkena PHK harus menunggu hingga usia 56 tahun untuk memperolehnya. Pemohon menilai, makna diskriminasi dalam persoalan perkara ini yaitu pembuat undang-undang memberikan perlakuan yang berbeda bagi pekerja yang mengalami cacat total, meninggal dunia, pensiun dengan pekerja yang mengundurkan diri, dan terkena PHK. 

"Padahal hakikatnya sama-sama berhenti bekerja. Oleh karenanya pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945," tutur M Sholeh dikutip laman resmi MK, Rabu. 

Dalam petitumnya, pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 yang telah diubah menjadi UU 11/2020 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang ditambahkan frasa “mengundurkan diri dan terkena pemutusan hubungan kerja” pada kedua norma yang dipersoalkan. 

Ketentuan mengundurkan diri

 

Menanggapi Perkara Nomor 33/PUU-XX/2022 tersebut, Hakim Konstitusi Manahan Sitompul memberikan nasihat kepada pemohon mengenai UU 40/2004 yang dikatakan telah diubah menjadi UU Ciptaker. Menurutnya, ada beberapa UU yang tidak diikutsertakan pada UU Ciptaker sehingga pemohon diharapkan dapat memastikan keberadaan perubahan pasal a quo dalam norma terbarunya. 

Manahan juga meminta pemohon menjelaskan kedudukan hukumnya. Pemohon ternyata masih bekerja aktif meski beberapa waktu lalu sempat mengundurkan diri dari tempat bekerjanya. 

Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel YP Foekh meminta pemohon mencermati ketentuan mengundurkan diri atau PHK. Apakah terdapat aturan tersendiri dalam norma tertentu yang menjelaskan ketentuan peserta terkena PHK atau mengundurkan diri. 

"Sebab, jika UU a quo dikabulkan justru nantinya ini berpotensi merugikan pemohon," kata Daniel. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement