REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Pakar ilmu gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Prof Dr Razak Thaha mengatakan, stunting akan mengancam bonus demografi Indonesia yang puncaknya pada 2045. Pada Rakerda Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Sulawesi Selatan (BKKBN Sulsel) 2022 di Makassar, Rabu (16/3/2022) dia mengatakan, bonus demografi merupakan suatu keadaan penduduk yang masuk dalam usia produktif jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif.
Sementara puncak bonus demografi di Indonesia pada 2045 terancam terbuang sia-sia, jika target penurunan stunting belum tercapai. Menurut World Health Organization (WHO), masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap buruk jika prevelensi stunting lebih dari 20 persen.
Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis. "Karena itu, program percepatan penurunan prevalensi stunting harus dikeroyok bersama-sama," kata Razak.
Sementara dari perkembangan penurunan angka prevalensi stunting di lapangan, diakui sangat lamban, karena sejumlah faktor. Berdasarkan data Bapenas diketahui pada 2013 prevalensi stunting tercatat 37,20 persen. Lalu pada 2018 menjadi 30,80 persen, kemudian 2019 menjadi 27,70 persen. Pada 2021 diterbitkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 dengan pelimpahan tugas kepada BKKBN untuk menurunkan prevalensi stunting dengan target 24,40 persen pada 2024.
"Prevalensi stunting pada 2020 diprediksi 27 hingga 28 persen. Sementara pada 2021 estimasinya 32,5 persen, sedang untuk mencapai target nasional pada 2024, berarti masih harus menurunkan sekitar 12 persen dalam kurun sekitar dua tahun ke depan," katanya.
Hal itu dibenarkan Kepala Perwakilan BKKBN Sulsel Hj Andi Ritamariani. Menurut dia, tantangan berat itu menjadi PR bagi BKKBN yang diamanahkan oleh pemerintah selaku koordinator. Kendati demikian, pihaknya tetap optimistis target itu dapat dicapai dengan dukungan semua pihak.