Selasa 08 Mar 2022 16:17 WIB

Bupati Halmahera Utara Gugat UU Pilkada Soal Masa Jabatan Berakhir 2024

Akibat Pasal 201 ayat 7 UU Pilkada, Frans dan Muchlis menjabat kurang dari 5 tahun.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Kabupaten Halmahera Utara Tahun 2020 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (3/6/2021). Kini, Bupati dan Wakil Bupati Halmahera terpilih, Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi menguggat UU Pilkada soal masa jabatan yang berakhir pada 2024. (ilustrasi)
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Kabupaten Halmahera Utara Tahun 2020 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (3/6/2021). Kini, Bupati dan Wakil Bupati Halmahera terpilih, Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi menguggat UU Pilkada soal masa jabatan yang berakhir pada 2024. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara yakni Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya mempersoalkan Pasal 201 ayat 7 UU Pilkada yang menyebutkan kepala daerah hasil Pilkada 2020 menjabat sampai 2024.

Frans dan Muchlis merupakan pasangan kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020 dan dilantik pada 9 Juli 2021. Karena keberadaan Pasal 201 ayat 7 itu, keduanya akan menjabat kurang dari lima tahun, seperti aturan Pasal 162 ayat 2 UU Pilkada dan Pasal 60 UU Pemerintahan Daerah.

Baca Juga

Jika dihitung lima tahun dari tanggal pelantikan, Frans dan Muchlis akan menjabat sampai 9 Juli 2026. Namun, adanya Pasal 201 ayat 7 UU Pilkada, Frans dan Muchlis hanya menjabat selama kurang lebih 3,5 tahun sampai terpilihnya kepala daerah hasil Pilkada serentak 2024.

Para pemohon menilai, adanya norma yang tidak selaras antara Pasal 201 ayat 7 UU Pilkada dan Pasal 162 ayat 2 UU Pilkada serta Pasal 60 UU Pemerintahan Daerah mengakibatkan tumpang tindih peraturan. Para pemohon merasa hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur Pasal 28D ayat 3 UUD 1945, telah dilanggar.

"Bahwa berlakunya Pasal 201 ayat 7 UU 10/2016 yang secara normatif membatasi masa jabatan bupati dan wakil bupati tidak lagi selama lima tahun sebagaimana Pasal 60 UU 23/2014 dan Pasal 162 ayat 2 UU 10/2016 sehingga tidak memiliki landasan konstitusional dan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum," ujar kuasa hukum para pemohon, Erasmus D Kulape, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan secara daring, Selasa (8/3).

Di sisi lain, Hakim MK Arief Hidayat berpendapat, tidak ada aturan secara eksplisit dalam konstitusi yang menyatakan masa jabatan bupati dan wakil bupati adalah lima tahun. Masa jabatan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang, baik untuk keadaan normal maupun khusus.

Menurutnya, dalam keadaan normal, UU mengatur masa jabatan kepala daerah ialah lima tahun. Namun, dalam kondisi khusus untuk keserentakan Pilkada 2024, masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 dikurangi karena berakhir pada 2024.

"Apakah itu salah? Kalau menurut pemohon itu salah, tidak memberikan jaminan kepastian hukum, tolong dibangun narasi konstruksi hukum bahwa itu betul-betul merugikan dan itu tidak mengandung jaminan kepastian hukum," kata Arief.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement