Jumat 11 Mar 2022 00:30 WIB

Babak Baru Pengadaan Alutsista Udara Indonesia

Indonesia tidak ingin bergantung pada satu negara terkait pengadaan alutsista.

Ilustrasi Indonesia membeli 42 jet tempur Rafale dari Prancis.
Foto: dw/aljazirah/france24
Ilustrasi Indonesia membeli 42 jet tempur Rafale dari Prancis.

Oleh : Hiru Muhammad, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 10 Februari lalu tersiar kabar gembira soal pengadaan alutsista TNI AU yang selama ini tidak diketahui secara pasti nasibnya. Kepastian itu diperoleh setelah Menteri Pertahanan Prancis  Florence Parly berkunjung ke Jakarta dan bertemu dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Keduanya sepakat menandatangani kesepahaman pembelian 42 jet tempur Rafale dan pengadaan dua kapal selam Scorpene serta fasilitas pendukungnya senilai Rp 116 triliun lebih.

Meski pembelian tahap awal yang baru ditandatangani adalah pembelian 6 unit Rafale, namun ini merupakan momen bersejarah yang merupakan kabar gembira bagi masyarakat luas, khususnya pemerhati alutsista. Sekaligus menandai dimulainya rencana jangka panjang pemerintah untuk kemandirian pengadaan alutsista, khususnya  bagi matra udara dan laut yang selama ini identik dengan kecanggihan teknologi dan padat investasi.

TNI AU sebelumnya telah menandatangani pemesanan dua unit pesawat angkut berat A400M dari Airbus dan Hercules C-130J dari Lockheed Martin AS. Namun, itu belum cukup.  Bagi angkatan udara sebuah negara tentunya keberadaan jumlah, kondisi atau kualitas teknologi pesawat tempur menjadi tolok ukur kekuatan yang dimilikinya. Ini akan mempengaruhi efek daya gentar bagi negara lain yang mencoba mengganggu kepentingan negara tersebut dan menjadi alat diplomasi politik militer yang ampuh bagi sebuah negara di percaturan politik global.  Semakin kuat ekonomi dan militer yang dimiliki, akan semakin diperhitungkan kebaradaan negara tersebut di kawasannya.

Berkaca dari hal tersebut, rasanya tidak berlebihan bila Indonesia ingin melakukan lompatan besar dalam kekuatan udaranya dari pesawat generasi ke-4 menjadi 4,5. Pembelian Rafale yang semula dikabarnya hanya 36 unit, ternyata menjadi 42 unit. Pembelian tersebut secara politis juga ingin menunjukkan kepada kalangan global, Indonesia tidak ingin bergantung pada satu negara terkait pengadaan alutsista. Apalagi kenangan buruk embago suku cadang F-16 pernah dialami Indonesia ketika kasus Timor Timur merebak di Tanah Air era 1990an. Meski faktanya pembelian Rafale sedikit banyak juga masih tersangkut beberapa teknologi AS di dalamnya.

Apabila semua berjalan lancar, termasuk pembayaran uang muka setelah kesepakatan ditandatangani, maka Rafale pesanan Indonesia akan tiba sekitar 5 tahun ke depan. Demikian pula F 15 yang masih menunggu persetujuan kongres AS yang diperkirakan hadir 2027 mendatang.

Apabila dijumlah secara total pembelian Rafale dan F-15 Eagle II akan berjumlah 78 pesawat. Jumlah tersebut apabila ditambah dengan KFI Boramae, yang rencananya akan diproduksi PT DI sebanyak 48 unit, maka total akan mencapai 126 unit. Jumlah itu akan melengkapi sekitar 60 pesawat tempur Indonesia yang ada saat ini. Keberadaan pesawat tempur baru tersebut juga untuk menggantikan pesawat lama yang sudah pensiun atau akan dipensiunkan seperti F-5E Tiger II dan Hawk 100 maupun 200 yang sudah mengudara sejak era 1980an.  

Namun di balik itu semua yang tidak boleh dilupakan soal transfer of technology (ToT) yang sudah menjadi syarat setiap pembelian alutsista bagi TNI. Dalam pembelian Rafale disebutkan adanya ToT meski tidak dijelaskan secara teknis bentuk ToT seperti apa, begitu juga bagi F-15EX ( Istilah ID untuk versi Indonesia). Barangkali untuk pembelian F 15 ID karena baru sebatas persetujuan, belum kesepakatan sehingga tidak ada pembahasan yang menyangkut TOT.

Diperkirakan ToT untuk F-15 apabila jadi dibeli sebanyak 36 unit, plus fasilitas pendukungnya dengan nilai hampir Rp 200 triliun tentunya tidak semudah yang dibayangkan. Pasalnya F-15ID yang dipesan TNI AU adalah varian paling canggih dari keluarga F-15.

Varian ini dilengkapi sejumlah fitur canggih seperti radar AN/APG-82(v)1 Advanced Electronically Scanned Array (AESA),  sistem peringatan dini dan peperangan elektronik AN/ALQ-250 Eagle Passive Active Warning Survivability Systems (EPAWSS), sistem navigasi Embedded Global Positioning Systems (GPS)/Inertial Navigation System (EGI) security devices dan lainnya. Peralatan tersebut merupakan sebagian dari teknologi sensitif dan tentunya tidak mudah untuk memperolehnya dari AS. Apalagi Indonesia bukanlah sekutu utama, melainkan hanya mitra penting AS di Asia Tenggara.  Tentunya ToT F-15ID ini apabila terjadi akan menjadi lompatan besar bagi Indonesia karena teknologi yang diusungnya lebih canggih dari F-16 yang ada saat ini.

Selain itu, dalam pembelian alutsista, tidak ada prinsip konsumen adalah raja. Harga dan perlengkapan yang diperoleh sebagai paket persenjataan sangat relatif tergantung negosiasi dan tingkat kepentingan konsumen dan penjual. Bisa jadi jenis yang dibeli sama, namun harga berbeda. Apalagi bila dalam persenjataan yang dibeli tersebut masih ada teknologi dari negara lain yang perlu persetujuan tersendiri dari pembuatnya.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement