REPUBLIKA.CO.ID, LHOKSEUMAWE - Sebanyak 114 pengungsi dan pencari suaka asal Rohingya kembali mendarat di Kabupaten Bireuen, Desa Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Aceh pada Ahad (6/3/2022). Pengungsi terdiri dari 58 laki-laki, 21 perempuan dan 35 anak-anak.
Menurut keterangan badan kemanusiaan yang berbasis di Aceh, Yayasan Geutanyoe, para pengungsi tiba dengan menggunakan kapal setelah sebelumnya terombang ambing di lautan selama 25 hari. Para pengungsi yang tiba pukul 03.00 pagi tersebut ditempatkan di Mushola Desa Alue Buya Pasie.
Koordinator kemanusiaan Yayasan Geutanyoe, Tgk. Nasruddin langsung menuju ke lokasi setelah mendapatkan kabar tersebut dari Panglima Laot.
Yayasan Geutanyoe kemudian bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bireuen, IOM dan UNHCR langsung melakukan screening test COVID-19 kepada pengungsi.
"Bantuan makanan sudah disediakan sampai dengan lima hari ke depan. Selanjutnya, pengungsi akan disiapkan untuk direlokasi ke Balai Latihan Kerja (BLK) Aceh Utara, dimana pengungsi sebelumnya ditempatkan," kata Head Office Jakarta Yayasan Geutanyoe Reza Maulana kepada Republika, Senin (7/3).
Dia mengatakan, BLK Lhokseumawe selama ini dijadikan tempat penampungan pengungsi dengan fasilitas yang cukup bagus dan memadai. Berdasarkan rencana ke depannya, pemerintah Kabupaten Bireuen akan mengatur keberangkatan para pengungsi ke Lhokseumawe.
Yayasan Geutanyoe menilai, kesiapan pemerintah, Panglima Laot, lokal dan internasional NGO sudah cukup baik dalam menangani kondisi darurat. "Namun, apabila didukung dengan regulasi yang lebih baik dan comprehensive akan menjadi lebih baik," kata Reza.
Percepatan untuk merevisi Peraturan Presiden 125 tahun 2016 menjadi semakin mendesak untuk menjadi payung hukum penanganan pengungsi dari luar negeri di Indonesia. Menurut Reza, tingginya kedatangan pengungsi asal Rohingya ke Aceh dalam beberapa tahun terakhir, menunjukan bahwa Aceh menjadi daerah dengan potensi besar didatangi oleh pengungsi di kemudian hari.
"Apalagi dengan meningkatnya intensitas konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia yang berdampak ke Indonesia. Karenanya, mewujudkan perdamaian di dunia adalah tanggung jawab setiap orang untuk mewujudkanya. Geutanyoe juga mengapresiasi seluruh pihak yang terlibat dalam upaya kemanusiaan tersebut," tukasnya.
Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 PBB. Indonesia juga sebagian besar dilihat sebagai negara transit bagi mereka yang mencari suaka ke negara ketiga.
Lebih dari 730 ribu Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras yang dipimpin militer pada 2017, dan dipaksa masuk ke kamp-kamp kumuh di seberang perbatasan di Bangladesh. PBB penyelidik menyimpulkan bahwa kampanye militer telah dilakukan dengan "niat genosida".
Beberapa telah melarikan diri melalui laut, berlayar ke negara-negara seperti Malaysia, Thailand dan Indonesia antara November dan April ketika laut tenang. Ratusan dari mereka datang ke Aceh secara bergantian dalam beberapa tahun terakhir.