REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti langkah pemerintah yang memaksakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Penajam Paser, Kalimantan Timur. Sebab, jangka waktu pembahasan Undang-Undang IKN dijalankan kurang dari dua bulan. Padahal, pemindahan ibu kota tentu bukan masalah sepele dan remeh.
"Kami juga menyayangkan bahwa pembangunan mega proyek IKN ini belum menjadi diskursus publik karena sejauh ini masih diwarnai oleh narasi tunggal negara sehingga berakibat pada ketidakberimbangan narasi," kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Ananda dalam keterangannya, Jumat (4/3).
Belum lagi, pembahasannya yang dilakukan secara tertutup dan dan jauh dari akuntabilitas publik. KontraS menganggap, bahwa keputusan memindahkan ibukota dimulai dari pembuatan naskah UU IKN begitu jauh dari semangat good governance dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Selain itu, KontraS juga mencium aroma conflict of interest yang sangat kental dalam proses pembangunan IKN ini. Belum lagi persoalan lingkungan hidup di Kalimantan yang belum selesai dihantui dampak buruk dari pertambangan.
"Ambisi mega proyek IKN hanya akan memindahkan masalah lingkungan yang terjadi di Jakarta ke Kalimantan," ucapnya.
Lebih jauh, lanjutnya, pembangunan IKN yang tentu akan memakan biaya yang besar belum memiliki urgensi yang signifikan. Sebab, Indonesia masih harus mengedepankan pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 dibandingkan menghamburkan uang untuk memenuhi hasrat Presiden untuk meninggalkan legacy politik di 2024.