Kamis 03 Mar 2022 00:13 WIB

Akademisi Perguruan Tinggi Bersuara Terkait UU ITE

Pasal-pasal di UU ITE kerap diimplementasikan secara berbeda di lapangan.

Staf Ahli Menteri Kominfo Prof. Henri Subiakto
Foto: Istimewa
Staf Ahli Menteri Kominfo Prof. Henri Subiakto

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG – Pemerintah dan DPR sejauh ini masih terus melakukan pembahasan mengenai perubahan undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai pengusul revisi UU ITE mengajak publik untuk mengupas persoalan di UU ITE agar dapat terselesaikan di dalam perubahannya nanti.

Dalam rilis yang diterima Rabu (2/3/2022), Staf Ahli Menteri Kominfo Prof. Henri Subiakto menilai salah satu isu krusial dalam revisi UU ITE adalah menyangku SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Akhir-akhir ini banyak kasus yang terkait dengan penyebaran kebencian yang berbasis mengenai SARA di Indonesia.

“Apakah status medsos atau komentar di medsos (terkait SARA) ini memunculkan persoalan hukum? Ada yang melaporkan, dilaporkan ke polisi untuk diproses hukum. Kemudian ada masalah penghinaan dan pencemaran nama baik. Semua itu adalah isu di dalam pembahasan UU ITE,” kata Henri dalam Forum Group Discussion Problema UU ITE dan Persoalan SARA di Indonesia, di Universitas Brawijaya Malang, Selasa (1/3).

Henri mengakui banyak pasal-pasal di UU ITE yang sering diinterpretasikan atau diimplementasikan di lapangan secara berbeda-beda. Amanat Presiden Jokowi, lanjut Henri adalah adalah agar pasal-pasal yang dianggap karet masuk dalam pasal yang direvisi di DPR.

Sejauh ini dalam pelaksanaan UU ITE, lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan Agung telah membuat pedoman pelaksanaan sebagai turunan dari UU ITE.

Pedoman-pedoman pelaksanaan yang sudah pernah diterbitkan akan menjadi bahan pertimbangan untuk dimasukan ke dalam pasal-pasal pada UU ITE yang baru nanti.

“Maka dari itu kita perlu membahas secara komprehensif, mengajak kampus berdiskusi, meminta masukan dari kampus, bagaimana implementasi yang yang ideal. Selama ini yang terjadi di masyarakat UU ITE itu dianggap sebagai undang-undang yang menakutkan bagi pelaku komunikasi di media sosial. Ini semua perlu kita luruskan dan kita bahas bersama-sama,” kata Henri lagi.

Pada kesempatan yang sama, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Fachrizal Afandi menilai perlu adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) para penegak hukum untuk menyamakan interpretasi cara menangani kasus dugaan pelanggaran ITE.

“Karena selama ini pelaksanaannya cenderung sektoral sehingga harus disatukan dalam SKB. Ke depan memang harus didorong diperkuat di level Undang-Undang  karena prosedur itu harusnya diatur di Undang-Undang bukan di peraturan internal (lembaga penegak hukum),” tegasnya.

Terkait dengan isu SARA, dosen FISIP Universitas Brawijaya Rachmat Kriyantono, P.hD mengingatkan agar masyarakat Indonesia tidak kembali ke masa lampau, di mana suku bangsa Indonesia terpecah belah oleh politik devide et impera kolonialisme. Ia mengingatkan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengedepankan kesatuan dan persatuan, bukan perpecahan.

“Apakah kita ingin kita pecah kembali? Ini yang saya kira perlu menjadi perhatian kita. Kita harus cegah degredasi SARA di medsos seperti fitnah, mengolok-olok, adu domba, hate-speech, stereotipe, hoaks dan fake news,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement