Jumat 25 Feb 2022 19:46 WIB

Ketua Komisi VIII DPR: Pengaturan Suara Adzan tidak Bisa Digeneralisasi

Ketua Komisi VIII DPR mengatakan pengaturan suara adzan tidak bisa digeneralisasi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto mengatakan pengaturan suara adzan tidak bisa digeneralisasi.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto mengatakan pengaturan suara adzan tidak bisa digeneralisasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menanggapi Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala yang dikeluarkan Menteri Agama (Menag). Menurutnya pengaturan tersebut tak bisa digeneralisasi diterapkan di seluruh daerah.

"Memang saya mengkritik juga, surat edaran itu tidak bisa digeneralisir, tidak bisa dia diperlakukan dari Sabang sampai Merauke. Ada daerah-daerah tertentu memang suara adzan itu nggak bisa diatur-atur, atau bahkan di Sumatera itu kan rumahnya jauh-jauh, kalau cuma 100 dB (desibel) enggak akan kedengaran," kata Yandri, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/2).

Baca Juga

Dia juga mengingatkan agar jangan sampai surat edaran tersebut memunculkan konflik horizontal. Karena itu dirinya meminta agar Kementerian Agama mengevaluasi agar tidak menggeneralisasi aturan tersebut.

"Jangan digeneralisir semua persoalan dan saya meyakini ini tidak bisa dilakukan secara keseluruhan. Misalnya di Sumbar, di Aceh di kantong-kantong pondok pesantren, itu sudah menjadi budaya, sudah menjadi kearifan lokal. Tapi misalnya di Bali, di Sulut, di NTT di Papua, itu sudah bagus kok toleransinya," ujarnya.

Menurutnya evaluasi perlu segera dilakukan Kemenag untuk menghindari kemarahan publik lebih besar. Selain itu, Menag Yaqut Cholil Qoumas juga diminta jelaskan aturan penggunaan pengeras suara tersebut. Sebab selama ini tidak pernah ada masalah yang muncul akibat adzan.

"Tolong tunjukkan berapa tempat atau berapa titik yang selama ini menjadi masalah suara adzan itu. Atau ada protes keras dari masyarakat atau ada yang menjadi persoalan serius di masyarakat. Tapi kalau nggak ada kenapa harus dipersoalkan? Justru dengan diatur-atur begini, publik seperti marah. Nah marah ini menurut saya mesti diluruskan," ucapnya.

Sebelumnya, Kementerian Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 mengenai pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala. Dalam surat ini mengatur penggunaan waktu dan kekuatan dari pengeras suara di masjid dan mushala.

"Surat edaran ini dikeluarkan dengan tujuan agar tidak ada umat agama lain yang terganggu. Kita tahu itu syiar agama Islam, silahkan gunakan toa, tapi tentu harus diatur. Diatur bagaimana volumenya tidak boleh keras, maksimal 100 desibel," ujarnya, saat berkunjung ke Pekanbaru, Rabu (23/2).

Selain itu, Yaqut juga mengatakan perlu peraturan untuk mengatur waktu alat pengeras suara tersebut dapat digunakan, baik setelah atau sebelum azan dikumandangkan. "Bagaimana menggunakan speaker di dalam atau luar masjid juga diatur. Tidak ada pelarangan. Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement