Senin 21 Feb 2022 16:07 WIB

Dua Kendala Saat Jabar Jadi Episentrum Covid-19

Epidemiolog memprediksi penurunan kasus Covid di Jabar akan lebih lama dibanding DKI.

Petugas Public Safety Center (PSC) 119 berada di dalam ambulans usai mengevakuasi pasien Covid-19 bergejala ringan di Jalan Dago Pojok, Coblong, Kota Bandung, Jumat (10/2/2022). Menurut Satgas Penanganan Covid-19, Jabar saat ini tengah menjadi episentrum penularan Covid-19.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petugas Public Safety Center (PSC) 119 berada di dalam ambulans usai mengevakuasi pasien Covid-19 bergejala ringan di Jalan Dago Pojok, Coblong, Kota Bandung, Jumat (10/2/2022). Menurut Satgas Penanganan Covid-19, Jabar saat ini tengah menjadi episentrum penularan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Rr Laeny Sulistyawati, Arie Lukihardianti, Dea Alvi Soraya

Sejak pekan lalu, untuk kali pertama pada gelombang ketiga infeksi Covid-19, Jawa Barat (Jabar) menggeser DKI Jakarta dalam hal jumlah kasus harian. Pada Kamis (17/2/2022), kasus konfirmasi Covid-19 sebanyak 16.251 disumbang Jabar jadi yang tertinggi secara nasional.

Baca Juga

Sehari sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sudah menyampaikan, bahwa episentrum Covid-19 mulai bergeser keluar DKI Jakarta. Ia juga mengingatkan, dalam dua hingga tiga minggu ke depan, episentrum Covid-19 dapat bergeser hingga daerah di luar Jawa.

“Beberapa daerah sudah dikenakan level PPKM, terutama sekarang di episentrumnya di Jakarta, kemudian bergeser ke Jawa Barat. Dan tentu dalam 2-3 minggu ke depan bisa ke luar Jawa,” kata Airlangga saat konferensi pers seusai sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Rabu (16/2/2022).

Bagi epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono, penurunan kasus Covid-19 di Jabar akan lebih lama dibandingkan DKI Jakarta yang memakan waktu kurang lebih dua pekan hingga mencapai puncak penularan Omicron. Ada dua masalah utama menurut Miko, yakni populasi dan kapasitas tracing.

"Untuk Jawa Barat kemungkinan akan lebih lama turunnya karena populasinya lebih banyak dibandingkan Jakarta," kata Miko kepada Republika, Jumat (18/2). 

Di sisi lain, Miko juga menyoroti lemahnya pelacakan (tracing) kasus di Jawa Barat maupun di provinsi lainnya di Pulau Jawa kecuali Jakarta. Jika Jakarta pelacakan kasus bisa 1:10, provinsi lainnya hanya 1:6. Artinya, dari satu kasus Covid-19, hanya enam orang yang diperiksa. 

"Padahal tracing ini dibutuhkan untuk mendeteksi orang-orang yang terinfeksi," ujarnya. Ia pun mendorong pemerintah untuk fokus meningkatkan pelacakan kasus di provinsi-provinsi di Jawa selain Jakarta. 

Untuk menekan lonjakan kasus di Jawa Barat dan provinsi lainnya di Jawa, dia juga meminta pemerintah serius menerapkan pembatasan mobilitas. "Menurut saya, pemerintah ini ragu-ragu melakukan pengetatan pembatasan sosial," ujarnya.

Adapun, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mengkhawatirkan terjadi efek ping-pong Covid-19. Artinya, pergeseran puncak kasus Covid-19 yang kini ada di Jabodetabek ke wilayah lain di Indonesia seperti Jabar atau wilayah lainnya.

"Dari aglomerasi di Jabodetabek kemudian bergeser ke Jabar, kemudian Jabar bisa bergeser ke Jawa Timur bahkan kalau nanti Jawa selesai kemudian di Kalimantan maupun Sumatra. Tentu ini harus diantisipasi, jangan sampai terjadi efek bola ping pong," kata Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Brigjen TNI (Purnawirawan) Alexander K Ginting, akhir pekan lalu.

Jika fenomena ini terus terjadi, kata Alexander, Indonesia bisa tak kunjung selesai dengan Covid-19. Oleh karena itu, dia melanjutkan, perlu disampaikan ke masyarakat mengenai komunikasi risiko atau komunikasi pelayanan mengenai masalah ini.

"Kami berharap tetap disampaikan bahwa Covid-19 apa pun variannya memberikan risiko, terutama pada kelompok lansia dan memiliki penyakit penyerta (komorbid). Ini yang perlu disampaikan," katanya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement